Nasional Advokasi

Catatan Implementasi Reforma Agraria untuk Menteri Baru
Admin | 05 Jul 2022 | Dilihat 569x

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memberikan beberapa catatan atas kemandekan pelaksanaan reforma agraria di hadapan Menteri ATR/BPN yang baru. Hal ini disampaikan Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika saat beberapa kali pertemuan dengan Menteri ATR/BPN dan Wakil Menteri (Wamen) ATR/BPN hasil reshuffle, Hadi Tjahjanto dan Raja Juli Antoni, medio Juli lalu. Pertemuan ini atas undangan Menteri dan Wamen ATR/BPN yang baru untuk melihat sejauh mana perkembangan implementasi reforma agraria. 

Jakarta (kpa.or.id) - Pasca penyelenggaraan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada 8-10 Juni 2022 lalu, Presiden Jokowi melakukan reshuffle Menteri dan Wamen ATR. Presiden menunjuk mantan Panglima TNI menggantikan Menteri ATR/BPN sebelumnya, Sofyan Djalil dan Raja Juli Antoni sebagai Wamen ATR/BPN menggantikan posisi yang sebelumnya dijabat Surya Tjandra. 

Pada Menteri ATR/BPN yang baru, Sekjen KPA, Dewi Kartika mengingatkan pertemuan multipihak dengan Presiden pada Desember 2020 merupakan momentum agar pelaksanaan reforma agraria bisa dipimpin langsung oleh Presiden. Namun ia menyayangkan, belum ada progres signifikan terhadap realisasi untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria, khususnya penyelesaian konflik agraria di Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) usulan KPA bersama serikat/organisasi anggota.

“Sejak pertemuan terakhir dengan Presiden, rencana rapat koordinasi per-tiga bulan untuk mengevaluasi pelaksanaan dan hambatan di lapangan itu tidak berjalan. Betul ada rapat yang dipimpin oleh Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), tetapi belum ada solusi bagaimana mencari jalan keluar dari kebuntuan-kebuntuan yang terjadi selama ini,” kata Dewi.

Dewi juga mengungkapkan tidak adanya atensi yang serius dari Kementerian BUMN terhadap percepatan penyelesaian konflik agraria yang bersentuhan dengan perusahaan negara, yaitu PTPN dan Perhutani

“Saya pikir pasca pertemuan dengan Presiden, pelibatan Kementerian BUMN ini belum signifikan, bahkan kita belum pernah dipertemukan. Berkali-kali menyurati Kementerian BUMN tidak direspon. Sempat juga meminta KSP untuk memfasilitasi, namun masih buntu,” ungkapnya.

Lebih lanjut Dewi menyayangkan sikap Kementerian LHK yang selalu menyodorkan Perhutanan Sosial untuk desa-desa atau kampung yang berada dalam klaim kawasan hutan.

“Sejak awal kami menolak Perhutanan Sosial, sebab anggota-anggota KPA yang berkonflik dengan kawasan hutan sudah menjadi kampung, desa-desa definitif, sudah menjadi tanah pertanian produktif, sehingga langkah yang harus diambil adalah redistribusi tanah melalui skema pelepasan dari klaim kawasan hutan, bukan PS.” pungkasnya.

Bukti lain yang memperlihatkan lemahnya koordinasi antar Kementerian/Lembaga adalah masih adanya kriminalisasi, intimidasi dan represi di wilayah-wilayah LPRA usulan KPA.

“Banyak sekali lokasi yang bahkan sudah menjadi jaminan dalam surat permohonan perlindungan terhadap LPRA kepada Panglima TNI dan Kapolri masih terjadi kriminalisasi bahkan terancam digusur,” tambah Dewi.

Dari 532 lokasi yang diusulkan KPA kepada Presiden pada pertemuan 2020 lalu. Presiden berjanji akan menyelesaikan konflik agraria dan redistribusi tanah minimal 50% hingga 2024. Satu setengah tahun berjalan target tersebut baru tercapai 3%. Mustahil kiranya untuk mencapai target 50% jika percepatan reforma agraria tidak dipimpin langsung oleh Presiden,” tutup Dewi.

Implementasi Reforma Agraria Harus Dievaluasi Total

Pelaksanaan reforma agraria di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai mengalami banyak hambatan dan penyimpangan. Padahal sudah tidak terhitung kritik dan usulan yang telah disampaikan gerakan reforma agraria kepada pemerintah. Baik melalui rilis maupun pertemuan langsung. Sangat disayangkan, sebab reforma agraria merupakan agenda prioritas pemerintah yang menjadi salah satu poin dalam Nawa Cita Presiden Joko Widodo.

Meskipun begitu, di lapangan seringkali terjadi implementasi yang jauh panggang dari api. Kesalahan berulang tersebut seolah-olah pemerintah tidak serius menjalankan mandat konstitusi ini. Bertolak belakang dengan janji dan komitmen yang selalu disampaikan dalam beberapa kesempatan. 

Menyikapi reshuffle Menteri dan Wamen ATR/BPN pada Juni lalu, KPA melalui siaran pers menyampaikan beberapa catatan terkait perkembangan implementasi reforma agraria. Salah satunya, KPA meragukan jika reshuffle Menteri ini menjadi jawaban atas kemandekan pelaksanaan reforma agraria. Sebab masalahnya adalah pada komitmen dan cara kerja pemerintah. Akibat ketiadaan kepemimpinan langsung dari Presiden yang mampu menyusun mekanisme pelaksanaan reforma agraria secara komprehensif. Berkelindan dengan tidak adanya keberanian untuk melakukan diskresi hukum menjawab hambatan pelaksanaannya.

Ketiadaan kepemimpinan yang tegas secara nasional telah melanggengkan ego-sektoral antar Kementerian dan Lembaga terkait pelaksana reforma agraria. KPA sudah sejak lama mendorong Presiden Joko Widodo agar segera membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang langsung dipimpin oleh Presiden. Alih-alih merespon tuntutan tersebut, pemerintah justru membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang berada di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian.

Lemahnya kelembagaan ini diperparah dengan mekanisme pelaksanaan reforma agraria yang tertutup dari keterlibatan organisasi masyarakat sipil. Padahal hal tersebut sudah dimandatkan oleh Perpres No. 86 tentang Reforma Agraria. Namun tidak ada satu pun organisasi masyarakat sipil utamanya dari gerakan reforma agraria yang menjadi bagian dari Tim Reforma Agraria Nasional. Pada tingkat provinsi maupun kabupaten, kondisi tidak jauh berbeda. GTRA provinsi dan kabupaten yang dipimpin kepala daerah belum secara serius menjalankan mandat Perpres tersebut. Masih sedikit perwakilan organisasi rakyat dan aktivis agraria yang dilibatkan dalam struktur kelembagaannya.

“Pemerintah ini seperti salah dalam mendiagnosa sebuah penyakit, penyakitnya apa yang diobati malah yang lain’, tegas Sekjen KPA.

Kemandekan yang terjadi selama ini juga disebabkan rendahnya kemauan politik pemerintah menunaikan janjinya melaksanakan amanat konstitusi tersebut.  Hal ini menjadikan progres penyelesaian konflik agraria seperti jalan di tempat. 

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah mempunyai instrumen hukum yang cukup untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria. Namun hal tersebut tidak pernah digunakan, sebab pemerintah lebih gencar mempercepat sertifikasi tanah yang sebenarnya merupakan tugas harian Kementerian ATR/BPN. Alih-alih membuat terobosan politik dan diskresi hukum untuk merespon hambatan pelaksanaan penyelesaian konflik.

“Pemerintah gagal melihat kaitan antara pelaksanaan reforma agraria dengan penyelesaian konflik agraria struktural,’ ujar Dewi. 

Hasilnya, yang dikerjakan justru sertifikasi tanah yang jumlah laporannya sangat bombastis, berbanding terbalik dengan jumlah penyelesaian konflik agraria yang telah berlangsung selama puluhan tahun. 

Reshuffle ini juga mengindikasikan pemerintah gagal melihat situasi konflik agraria yang terjadi di Indonesia secara komprehensif. Sebab persoalan konflik agraria juga banyak terjadi di luar yurisdiksi Kementerian ATR/BPN seperti wilayah hutan, tambang, pesisir dan konflik akibat pembangunan infrastruktur.

Pelaksanaan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria harus dievaluasi menyeluruh. Ada gap janji redistribusi tanah dengan realisasinya,” tutup Dewi.

Share