Wilayah Darurat Agraria

Masyarakat Adat Dayat Marjun, Mendekam Dibalik Jeruji Besi Karna Memperjuangkan Tanah Mereka
Admin | 04 Aug 2022 | Dilihat 46x

Berau (kpa.or.id) - Masyarakat Adat Marjun korban kriminalisasi PT. Tanjung Buyuh Perkasa (TBPP) hari ini, Kamis, 4 Agustus 2022 kembali menjalani proses persidangan untuk pemeriksaan alat bukti. Ironisnya, Hakim yang menangani perkara tidak memeriksa alat bukti berupa peta yang dibuat oleh Masyarakat Adat Dayak Marjun bersama-sama pendamping tanpa alasan jelas. 

Padahal peta tersebut menunjukkan batas-batas HGU yang tidak dapat dijelaskan oleh PT TBPP dan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Untuk menguatkan saksi fakta para terdakwa, maka dibutuhkan saksi ahli yang dapat menjelaskan hukum pidana, perkebunan dan Masyarakat Adat yang dapat menguatkan argumentasi hukum pendamping hukum dan kesaksian saksi fakta Masyarakat Adat Dayak Marjun.

Enam orang Pejuang Agraria dari Masyarakat Adat Marjun ini merupakan korban dari kebijakan pemerintah yang terus mengistimewakan investasi korporasi besar dengan meminggirkan masyarakat.

Konflik perkebunan di Talisayan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur ini telah terjadi sejak tahun 2004, dan bermuara pada Tindakan kriminalisasi terhadap enam orang warga, yakni Jamaludin, Shabir, Mansur, Amin) dan dua lainnya adalah Boni, Ketua DPC KASBI serta Alex, salah seorang pekerja sawit di sana.

Penangkapan dilakukan berdasarkan laporan PT. TBPP, yang menuduh warga telah melakukan pemanenan dan pencurian sawit milik PT TBPP pada sekiranya terjadi pada bulan Februari 2022. Keenam warga yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungannya tersebut dilaporkan melanggar Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan Boni yang merupakan DPC KASBI Berau, juga dilaporkan menggunakan Pasal 55 KUHP.

Padahal, berdasarkan Hasil Peninjauan Lapangan pada 23 September 2021 oleh Pemerintah Kab. Berau, BPN Kantor Pertanahan Kab. Berau, Polsek Talisayan dan PT. TBPP, perusahaan menanam sawit di luar areal HGU dan melakukan perampasan tanah ulayat Masyarakat Adat Dayak Marjun kurang lebih 1.800 ha. Selain itu, hasil tinjaun lapangan akibat kegiatan operasional PT TBPP, terdapat galian C yang dibiarkan, lokasi mata air yang telah rusak, dan perubahan aliran sungai dan sepadan sungai. Kegiatan PT TBPP yang serampangan dan merampas tanah ulayat Masyarakat Adat Dayak Marjun, juga mengakibatkan rusaknya makam leluhur dan hilangnya pohon maggris, serta kerusakan hutan mangrove.

Peristiwa ini semakin menambah preseden buruk penanganan konflik agraria di Indonesia yang selalu mengedepankan pendekatan represif dan diskriminatif secara hukum terhadap masyarakat. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat kurun waktu 7 (tujuh) tahun terakhir (2015-2022), sebanyak 1437 orang dikriminalisi, 776 orang dianiaya, 75 orang tertembak, dan 66 orang tewas. 

Korban-korban tersebut berjatuhan akibat pembiaran konflik berlarut-larut. Alih-alih menindak perusahaan yang telah merampas tanah-tanah masyarakat, pemerintah justru seringkali menurunkan aparat keamanan ke wilayah konflik yang berujung jatuhnya korban.


 

Share