Memperkuat Perspektif Agraria Kritis Hakim dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia
Admin
|
14 Jun 2022
|
Dilihat 138x
Jakarta (kpa.or.id) - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) diminta Komisi Yudisial memberikan masukan dan penguatan mengenai perspektif agraria kritis bagi para hakim di lembaga tersebut. Konsultasi ini berlangsung sebanyak dua kali yakni pada tanggal 2 Juni dan 13 Juni 2022.
KY meminta masukan terhadap materi-materi substantif yang akan digunakan pada Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Hakim. Salah satu materi yang akan diberikan pada Diklat tersebut ialah hukum agraria (pertanahan).
Salah satu penyebab tingginya angka kriminalisasi petani, masyarakat adat dan nelayan adalah putusan pengadilan yang tidak melihat secara luas aspek hukum agraria yang terkandung dalam Undang-Undang No. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960).
Hal ini disampaikan Sekretaris Jendral KPA dalam pertemuan pada tanggal 2 Juni 2022 secara daring.
Bagi Dewi, hakim dalam putusannya sering kali hanya berfokus pada unsur pembuktian sertifikat kepemilikan (hukum positif), mengabaikan unsur-unsur kesejarahan dalam penguasaan dan pemilikan hak atas tanah oleh rakyat.
“Dalam konflik-konflik agraria kami telah seringkali mengusulkan adanya mekanisme khusus dalam penyelsaian konflik agraria,’ ungkap Dewi.
Hal ini dikarenakan Hakim-hakim seringkali terjebak dalam kerangka penyelsaian konflik agraria yang berfokus pada pembuktiaan sertifikat. Hakim seharusnya dapat melihat lebih mendalam aspek-aspek hukum agraria ketika memberikan putusan.”, lanjut Dewi.
Wakil Ketua KY, Sukma Violetta mengatakan masukan-masukan dari KPA sangat penting untuk melahirkan hakim-hakim yang memiliki integritas dan kapabilitas dalam memutus perkara agraria.
“Kami juga melihat judicial corruption sebagai salah satu hal yang menyebabkan putusan konflik agraria yang tidak tepat,” ulas Sukma.
Pada pertemuan berikutnya, 13 Juni 2022, KPA dan KY membahas dan merumuskan materi-materi yang akan diberikan pada peserta Diklat.
Ada empat materi yang diusulkan KPA dalam pertemuan tersebut, diantaranya; 1) politik hukum agraria nasional; 2) prinsip hak atas tanah dalam peraturan hukum Indonesia; 3) perlindungan hukum ha katas tanah dan masyarakat; dan 4) masalah pertanahan di Indonesia.
Kepala Departemen Advokasi dan Pengembangan Jaringan KPA, Roni Septian yang hadir para pertemuan tersebut menjelaskan selama ini tidak jarang hakim memberikan putusan yang hanya fokus pada unsur-unsur legalistik seperti pembuktian kepemilikan sertifikat tanah, mengesampingkan unsur-unsur kesejarahan dan penguasaan masyarakat atas tanah.
“Putusan pengadilan yang hanya fokus pada unsur-unsur legalistik adalah salah satu faktor penyebab banyaknya kasus perampasan tanah dan kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat dan nelayan,” tegas Roni.
“Sudah menjadi hal yang lumrah kasus-kasus pertanahan masuk ke pengadilan, penting untuk mengedukasi hakim bahwa konflik-konflik agraria merupakan konflik struktural akibat putusan-putusan pemerintah dan bukan hanya memutus benar atau salah seorang petani sekedar melalui pembuktian kepemilikan sertifikat.” Roni mengingatkan.
Bagi Roni, penguatan perspektif agraria kritis bagi hakim merupakan salah satu solusi penyelesaian konflik agraria di Indonesia melalui pengadilan.