Wilayah Advokasi

STaM Cilacap Terus Perkuat Konsolidasi untuk Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria
Admin | 28 Feb 2023 | Dilihat 37x

Cilacap (kpa.or.id) – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terus melakukan penguatan di basis-basis organisasi tani untuk mendorong percepatan penyelesaian konflik di wilayah-wilayah Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). 

Penguatan kali ini dilakukan di basis Serikat Tani Mandiri (STaM) Cilacap. Kegiatan yang berlangsung dua hari dari tanggal 26-27 Februari 2023 tersebut difokuskan untuk menata penguasaan subjek dan objek LPRA STaM. 

Kegiatan ini juga sekaligus dimanfaatkan untuk memupuk semangat dan membangun kesadaran para petani mengenai pentingnya penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam perjuangan reforma agraria. 

Kordinator KPA wilayah Jawa Tengah Purwanto menerangkan basis Organisasi Tani di wilayah Cilacap berkaitan dengan wilayah tanah timbul. 

Disitu diduga ada praktek menyimpang yang dilakukan oleh KLHK, dari itu untuk menjaga kepercayaan diri dan kesolidan para petani maka harus diperkuat organisasinya”, ujar pria yang akrab dipanggil Lek Pur tersebut. 

“Untuk yang berkaitan dengan perkebunan di sini petani jangan sampai perpengaruh tetap berpijak pada prinsip yang telah disepakati bersama, petani jangan mau diajak untuk menerima tawaran konpensasi agar melepaskan tanah yang selama ini dikuasai, jangan sampai tergiur dengan apa yang ditawarkan dari berbagai pihak manapun”, tegasnya. 

Sementara Ketua STaM, Sugeng Petrus menerangkan para petani yang telah mengelola tanah sejak lama akan terus mempertahankan sesuai dengan prinsip-prinsip LPRA yang diusung KPA dan organisasi. 

"Ini adalah ruang hidup dan tempat ekonomi bagi keluarga kami, maka kami tidak akan menerima tawaran apapun kecuali reforma agraria yang diredistribusikan kepada rakyat”, terang Sugeng. 

Para petani yang tergabung dalam STaM Cilacap saat ini berkonflik dengan Perhutani. 

Perhutani secara sepihak mengklaim tanah, kampung, dan tanah timbul yang sudah dikuasai dan garap para petani sebagai kawasan hutan hanya berdasarkan tata batas hutan era kolonial. 

Tata batas kolonial kemudian diadopsi sebagai produk yang sah menurut Kementerian LHK dan dilanjutkan proses penetapan dan pengukuhan kawsan hutan secara sepihak sejak 1967 hingga saat ini, termasuk melalui Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). 

Kemudian jutaan hektar klaim kawasan hutan tersebut diatur ulang melalui penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) tahun 2022. Tepatnya pada April 2022 Menteri LHK mengeluarkan keputusan penetapan KHDPK di Pulau Jawa seluas 1,1 juta hektare. 

KHDPK ini tersebar di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. KHDPK tersebur berada di lokasi yang selama ini diklaim sebagai Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung. 

Pemerintah beralasan Perhutani sebagai perusahaan negara kehutanan fokus ke bisnis. Urusan sosial dan pemulihan hutan ditangani pemerintah. 

Niat tersebut memerlukan strategi dan mekanisme yang tepat agar dapat menyelesaikan krisis agraria di Jawa yang telah berlangsung ratusan tahun. Oleh karena itu keputusan sepihak yang dilakukan Menteri LHK ini perlu dianalisis apakah dapat menyelesaikan masalah agraria struktural di Jawa. 

KPA memandang KHDPK tidak menyelesaikan masalah struktural seperti konfik agraria dan kemiskinan kronis di Jawa, sebab Jawa masih memiliki masalah-masalah agraria yang banyak belum tersentuh. 

"KHDPK bukan solusi melainkan sumber masalah baru yang seharusnya ditolak oleh Gerakan RA," ungkap Kepala Departemen Advokasi KPA, Roni Septian. 

"Bagaimana mungkin RA hendak dijalankan di Jawa tanpa penyelesaian ketimpangan dan konflik terlebih dahulu terutama dengan klaim Perhutani," tambahnya. 

Kesimpulannya KHDPK hanya benar dalam dua hal yakni: Pertama, membenar-benarkan klaim hutan negara melalui tangan Menteri LHK. Kedua, membenar-benarkan klaim ilegal hutan dan tanah untuk Perhutani," lanjut Roni. 

Petani Anggota Serikat Tani Mandiri (STAM) Cilacap maupun masyarakat lain telah memenuhi kriteria dan syarat sebagai subjek RA sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1), (2) dan (3) Perpres 86/2018 tentang RA jo Pasal 8, 9 dan 10 PP 224/1961. 

Selain itu, berdasarkan bukti sejarah penguasaan tanah melalui trukah dll, membuktikan tanah telah dimanfaatkan petani. Dengan kata lain tanah yang telah dikuasai petani telah memenuhi syarat dan prosedur pengakuan hak atas tanah.

Share