Enam puluh dua tahun kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), nasib kaum tani dan rakyat Indonesia pada umumnya masih berkubang dalam jurang kemiskinan. Sebab tanah dan sumber-sumber agraria sebagai gantungan kehidupan masih terus dirampas demi kepentingan investasi dan pembangunan.
Reforma Agraria sebagai amanat konstitusi untuk memastikan hak atas tanah bagi rakyat, utamanya kaum tani masih sebatas janji politik, Padahal, tidak terhitung lagi desakan serta tuntutan dari organisasi tani dan gerakan reforma agraria. Namun nampaknya pemerintah masih bergeming, alih-alih menganggap reforma agraria sebagai kewajiban konstitusi yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan.
Benar bahwa reforma agraria sudah masuk dalam pergulatan kebijakan politik pemerintah, utamanya semenjak era reformasi. Bahkan pada awal kejatuhan era Orde Baru tersebut, gerakan masyarakat sipil berhasil mendesak MPR RI mengeluarkan sebuah ketetapan melalui TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya. Sebuah ketetapan yang memerintahkan Presiden dan DPR RI agar segera melakukan evaluasi atas carut marut kebijakan agraria yang telah diobrak-abrik pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun berkuasa. Selain evaluasi, kolaborasi eksekutif dan legislatif ini juga diminta menyusun arah kebijakan pembaruan agraria dengan kembali ke mandat konstitusi dan UUPA 1960.
Sayangnya, silih berganti pemerintah era reformasi, reforma agraria masih sebatas wacana dan janji-janji manis politik semata. Pemerintah Nawa Cita yang berkuasa saat ini pun menjanjikan demikian. Presiden Joko Widodo pada awal pemerintahan periode pertama dulu berkomitmen melaksanakan reforma agraria melalui penyelesaian konflik dan redistribusi tanah sembilan juta hektar. Namun janji-janji yang telah dimuat dalam poin ke-5 Nawa Cita tersebut tersebut pelan-pelan menguap, tenggelam oleh gempita ambisi pembangunan proyek-proyek mercusuar yang mengandalkan investasi.
Ironisnya, ambisi ini justru berkontribusi besar dalam memperpanjang deretan letusan konflik agraria yang terjadi di berbagai penjuru tanah air. Berbanding terbalik dengan capaian reforma agraria yang berjalan lambat dan semakin menyimpang tanpa arah serta desain yang jelas. Bahkan reforma agraria secara serampangan diterjemahkan ke dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja yang secara semangat sangat bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.
![Dsc](http://www.kpa.or.id/image/2023/11/dsc-0056-scaled.jpg)
Dari ribuan kasus konflik agraria struktural yang telah terjadi selama puluhan tahun, tidak sampai 1% yang benar-benar terselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria sejak 2015 telah mengusulkan 430 lokasi konflik agraria yang melibatkan 523 desa sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Usulan tersebut adalah respon atas kemandekan pada awal pelaksanaan reforma agraria di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejak pengusulan tersebut, tidak terhitung berapa kali desakan, mengingatkan usulan dari bawah tersebut (bottom up process). Baik melalui pertemuan langsung maupun melalui berbagai rilis di media massa. Sayangnya, gayung tak pernah bersambut. Dari total usulan yang sudah diserahkan, baru 17 LPRA yang berhasil diredistribusi kepada 6.208 rumah tangga petani dengan luasan 3.941 hektar. Jauh dari target yang sering digadang-gadang pemerintah.
Alasan-alasan yang selalu dilemparkan pemerintah terhadap macetnya pelaksanaan reforma agraria semakin terdengar basi. Pasalnya, mereka sudah dibekali berbagai peraturan pelaksana. Perpres RA yang dimaksudkan sebagai aturan operasional dari UUPA 1960 adalah alat mutakhir pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria. Meskipun masih terdapat kelemahan, kehadiran peraturan ini setidaknya bisa mendobrak kebuntutan pelaksanaanya di lapangan.
Di tengah kebuntuan penyelesaian konflik, ledakan konflik agraria terus melonjak. Catatan Akhir Tahun KPA mengatakan sedikitnya 2.489 konflik agraria meletus di berbagai pelosok tanah air selama pemerintahan ini berlangsung. Musababnya, tak lain adalah proses pengadaan tanah untuk investasi di sektor industri ekstraktif dan proyek-proyek strategis nasional yang dilakukan secara serampangan. Saban hari, jutaan rakyat hidup dalam ancaman penggusuran akibat praktek-praktek pengadaan tanah yang manipulatif dan koruptif, mengorbankan hak rakyat atas tanahnya
Sebuah paradoks yang justru harus diterima oleh sebagian rakyat yang menggantungkan hidupnya dari sumber-sumber agraria. Kaum tani dan rakyat Indonesia harus lebih lama lagi menelan pil pahit. Menyaksikan tanah-tanah mereka digusur dan dirampas secara paksa akibat syahwat pembangunan. Padahal cita-cita utama kemerdekaan yang diproklamirkan lebih dari setengah abad yang lalu tersebut adalah upaya merebut kembali tanah-air ke pangkuan rakyat Indonesia.
Upaya mengeksploitasi dan memonopoli tanah oleh elit bisnis dan politik semakin mudah dan brutal akibat disahkannya UU Cipta Kerja. Melalui alasan investasi, kepentingan umum dan penyerapan tenaga kerja, kini berserakan lembaga yang dibentuk Pemerintah. Bank Tanah, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, Lembaga Pengelola Investasi adalah segelintir lembaga yang dibangun untuk mengakomodir kelancaran kepentingan bisnis di atas sumber-sumber agraria .
Di level kebijakan, Pemerintah menerbitkan kebijakan yang memanjakan pengusaha seperti PSN, Food Estate, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), Forest Amnesty/Pengampunan Deforestasi dan Perhutanan Sosial
Model ekonomi-politik agraria yang liberal dan kapitalistik ini dijalankan demi mereorganisasi ruang-ruang untuk akumulasi kapital baru. Khususnya Bank Tanah dan Lembaga Pengelola Investasi. Kini lembaga inkonstitusional tersebut telah berjalan, ratusan ribu hektar tanah rakyat diklaim sepihak untuk diberikan pada tuan-tuan tanah baru dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Bank Tanah adalah operator bisnis para pengusaha kakap yang membutuhkan tanah, juga tidak lebih buruk dari kolonial karena menghidupkan kembali domein verklaring dan praktik tanah partikelir di era modern ini.
Mengembalikan Amanat Konstitusi atas Sumber-sumber Agraria
Tema “Tegakkan Konstitusionalisme Agraria untuk Kedaulatan dan Keselamatan Rakyat” adalah tuntutan utama yang dibawa oleh kaum tani dan gerakan reforma agraria pada peringatan Hari Tani Nasional tahun ini. Tuntutan tersebut adalah peringatan bahwa kebijakan pemerintah di bidang agraria telah jauh melenceng dari amanat konstitusi. Sebab tanah dianggap komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk kepentingan segelintir kelompok. Alih-alih menjalankan fungsi sosialnya sebagai jalan keadilan dan kemakmuran secara kolektif bagi rakyat banyak.
KPA bersama organisasi tani anggota dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) melalui pernyataan sikapnya mendesak MPR RI melakukan evaluasi terhadap Presiden dan DPR RI atas pelaksanaan reforma agraria. Sebagaimana telah dimandatkan melalui TAP MPR No.IX/2001. Tuntutan tersebut bagian dari desakan agar Negara kembali ke Konstitusionalisme Agraria dengan segera menjalankan reforma agraria sejati.
Reforma agraria sejati adalah kewajiban konstitusi, sebab ia merupakan amanat dari cita-cita kemerdekaan nasional. Sebagai upaya untuk meneguhkan kembali sebuah hubungan yang luhur dan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah-airnya. Cita-cita ini adalah upaya paripurna menuju revolusi sosial bangsa ini. Memperbaiki dan menata kembali hubungan yang telah terkoyak-koyak akibat kolonialisasi yang telah berlangsung selama tiga setengah abad.
Upaya tersebut digambarkan oleh Bung Karno dalam pidatonya “Laksana Malaekat yang Menyerbu dari Langit, Jalannya Revolusi Kita (Jarek)”.
Dalam pidato itu Bung Karno menegaskan Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia”.
Pidato ini ia sampaikan pada tanggal 17 Agustus 1960, sebulan sebelum diundangkannya UUPA 1960.
Dari kutipan pidato tersebut, dapat kita simpulkan, reforma agraria (dulunya land reform) adalah hal mutlak yang harus dijalani, siapapun rezim pemerintahannya. Tanpa reforma agraria revolusi nasional Indonesia belum lah sempurna. Tanpa reforma agraria cita-cita atas kedaulatan terhadap tanah dan sumber-sumber agraria tidak akan pernah terwujud.
Bait-bait stanza ketiga lagu Indonesia Raya dengan sangat kuat mencerminkan bagaimana sebagai Negara Agraris, bangsa Indonesia melalui organisasi kedaulatan mereka yang tertinggi mesti lah menata kekayaan tersebut secara adil dan merata bagi seluruh rakyat, agar mendatangkan keselamatan dan kemamuran. “
Slamatlah Rakyatnya, Slamatlah Putranya, Pulaunya, Lautnya, Semuanya”, begitu bunyi kutipan stanza ketiga Lagu Indonesia Raya.
Kelahiran UUPA juga mengakhiri Agrariche Wet 1870, UU agraria yang digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk merampas tanah penduduk lokal demi kepentingan perkebunan komoditas ekspor. Kebijakan yang melahirkan ketimpangan dan kemiskinan yang tak berkesudahan bagi penduduk Indonesia. Sejarah pahit ini pula yang melatarbelakangi keinginan kuat rakyat untuk memerdekan diri dan terbebas dari belenggu penjajahan. Agar kekayaan agraria yang dimiliki bangsa ini dapat dinikmati oleh seluruh rakyat secara adil, terutama kaum tani.
“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk, Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk-gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu!”.
Kutipan lain dari pidato Bung Karno ini sangat jelas menegaskan hal tersebut.
Tidak mengherankan, hari dilahirkan UUPA pada tanggal 24 September 1960 ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional melalui Kepres No. 169/1963 tentang Hari Tani. Sebuah ikhtiar dan penegasan bahwa sebagai Negeri agraris, Negara ini sudah semestinya menempatkan petani sebagai sokoguru pembangunan bangsa.
Kini, lebih enam dekade berjalan, situasi petani semakin memburuk, menjauh dari cita-cita revolusi kemerdekaan. Reformasi sebagai arus balik dari gerakan rakyat untuk memulihkan kembali amanat konstitusi yang tenggelam selama 32 tahun pemerintah Orde baru pun tidak kunjung mencapai titik terang.
Petani dan masyarakat pedesaan semakin terhimpit, tersingkir oleh arus pembangunan, tergusur dari tanah dan kampung mereka demi kepentingan segelintir kelompok elit. Perampasan tanah dan alokasi sumber-sumber agraria semakin menenggelamkan Indonesia ke dalam jurang krisis agraria yang dalam.
![11 Fix Up Htn 2022 Landscape Photos](http://www.kpa.or.id/image/2023/11/11-fix-up-htn-2022-landscape-photos.jpg)
Rata-rata petani di Indonesia saat ini hanya menguasai 0,5 hektar tanah. Berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa 1% kelompok pengusaha di Indonesia menguasai hampir 68% tanah. Di sektor perkebunan sawit misalnya, 25 grup perusahaan menguasai tanah hingga 16,38 juta hektar. Sementara 500 perusahaan hutan menguasai tanah seluas 30,7 juta hektar dan sektor tambang mencapai 37 juta hektar.
Akhirnya, melewati peringatan Hari Tani Nasional tahun ini, kaum tani dan sebagai besar rakyat masih dirundung kepahitan yang tidak kunjung henti.
Alih-alih mendapatkan hak atas tanah sebagai jalan dan jaminan mencapai kemakmuran. Nasib mereka kembali dipertaruhkan, sebab Negara semakin agresif meliberalisasi kebijakan di sektor agraria. Praktek-praktek perampasan tanah rakyat yang jamak terjadi selama ini semakin diakomodir oleh pemerintah melalui UU Cipta Kerja.
Momentum Hari Tani tahun ini, Negara harusnya kembali membuka lembaran demi lembaran amanat konstitusi bangsa kita di bidang agraria. Bahwa di dalamnya tersemat cita-cita yang mulia sebagai jalan kemerdekaan yang hakiki bagi petani dan seluruh rakyat melalui reforma agraria sejati. TAP MPR No.IX/2001, Pasal 33 UUD 1945, UUPA 1960 dan Pepres RA adalah jalan untuk merajut itu kembali.
Hari tani seharusnya hari kemenangan yang mestinya dirayakan dengan gembira oleh kaum tani dan seluruh rakyat, sebab Negara sudah memenuhi hak mereka, hak konstitusi atas tanah dan sumber-sumber agraria. Bukannya dilewati dengan pengalaman pahit yang tak berkesudahan.
Sebagaimana dijelaskan dalam konsideran Keppres Hari Tani, “bahwa 24 September, hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, merupakan hari kemenangan bagi Rakyat Tani Indonesia dengan diletakannya dasar-dasar bagi penyelenggaraan land reform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari macam-macam penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melapangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan Makmur”.
Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye KPA