Selama 3 (tiga) tahun memimpin kementerian yang membawahi perusahaan plat merah, Menteri Erick Tohir merampingkan jumlah BUMN dari 142 menjadi 42 perusahaan, dan dari 27 usaha menjadi 12 klaster saja. Hal ini sesuai mandat Presiden melalui Keputusan Presiden No 40 Tahun 2020 tentang Pembentukan Tim Percepatan Restrukturisasi BUMN. Bahkan, dalam laporan kementerian mengklaim bahwa selama tiga tahun kepemimpinannya berhasil memperoleh kenaikan laba signifikan. Pada 2021 laba BUMN berhasil menyentuh angka Rp124,7 triliun atau naik 838,2 persen dibandingkan 2020 sebesar Rp13,3 triliun.
Namun citra perubahan yang digaungkan tersebut tidak dapat menutupi bara api yang tidak kunjung bisa dipadamkan oleh sang Menteri yakni konflik agraria. Ledakan konflik agraria ini disebabkan oleh klaim penguasaan tanah yang tumpang tindih dengan tanah garapan dan perkampungan rakyat. Klaim atas tanah oleh perusahaan plat merah tersebut, utamanya PTPN dan Perhutani selain telah menyebabkan berbagai konflik, juga menyebabkan kekerasan terhadap rakyat di sekitarnya.
Pada tahun 2022, KPA mencatat 8 (delapan) dari 14 PTPN telah menyebabkan terjadinya 21 letusan konflik agraria. Bahkan selama periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, letusan konflik agraria pada wilayah PTPN terus memperlihatkan trend kenaikan (lihat gambar 9 dan 10).
Dari data konflik agraria yang diolah KPA, dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun terakhir, telah terjadi 154 letusan konflik agrarian diiringi kekerasan. Sementara, berdasarkan laporan Tim Reforma Agraria Kantor Staf Presiden (KSP) terdapat 223 kasus pertanahan yang melibatkan PTPN, yang masuk sebagai pengaduan masyarakat.
Angka ini sangat memprihatinkan mengingat hanya terdapat 14 perusahaan PTPN di negara kita namun menyumbang konflik agraria yang besar dan luas. Lebih memprihatinkan lagi, penyelesaian konflik agraria di wilayah PTPN minus terobosan penyelesaian. Bahkan, terkait dengan penanganan konflik, hak asasi manusia, administrasi hingga transparansi dan penanganan korupsi, lembaga seperti Komnas HAM, Ombudsman-RI dan KPK mengeluarkan catatan buruk kepada PTPN.
Konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun ini memperlihatkan sejumlah represifitas operasi perusahaan perkebunan negara dalam menangani konflik sehingga menimbulkan korban di lapangan.
Dari 21 letusan konflik agraria akibat operasi PTPN pada tahun ini, sebanyak 15 orang menjadi korban penganiayaan (7 laki-laki dan 8 perempuan) dan 28 orang mengalami kriminalisasi (24 laki-laki dan 4 perempuan), bahkan satu orang tewas akibat konflik agrarian dengan PTPN.
Besarnya angka konflik agraria, kriminalisasi, penggusuran, penganiayaan hingga korban tewas tersebut terus terjadi karena pihak perkebunan PTPN sendiri seolah kebal hukum atas sejumlah peristiwa tersebut. Dalih utama yang sering dipakai oleh pihak perkebunan dalam melakukan tindakan represif tersebut adalah Penyelamatan Asset Negara
Selain dalih penyelamatan asset negara, sejumlah diskriminasi hukum pertanahan dan hukum perkebunan kepada perusahaan perkebunan negara telah membuat perkebunan negara tidak tersentuh hukum. Misalnya, peraturan terkait penelantaran tanah dikecualikan kepada perusahaan perkebunan negara. Sementara jika pada perusahaan perkebunan berlaku ketentuan bahwa setiap perusahaan perkebunan adalah perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan, maka perkebunan negara dapat menggunakan dalih menyelamatkan asset negara untuk melakukan sjumlah klaim tanah tanpa dasar yang kuat.
Diskriminasi semacam ini telah melahirkan perilaku pemerintah di bidang BUMN perkebunan, beberapa diantaranya:
Melembagakan Tindakan Represif
Pendekatan represif sepertinya telah menjadi ciri khas PTPN dalam menghadapi warga dan menangani konflik agraria di lapangan. Bahkan pada tahun 2022, pilihan pendekatan semacam itu semakin diperkuat oleh pihak PTPN yang secara khusus melakukan nota kesepahaman dengan Polda di masing-masing provinsi. Kesepakatan ini bertujuan untuk menangani letupan-letupan konflik agraria dengan dalih pengawasan dan penegakan hukum. Salah satunya adalah kerjasama antara PTPN VIII dengan Polda Jawa Barat. Bisa dibayangkan dampak dari kesepakatan bilateral semacam ini, sebab alih-alih bekerjasama dengan masyarakat untuk menuntaskan konflik agraria, justru PTPN mengikat kerjasama dengan institusi pemerintahan yang tercatat dalam sejarah konflik agrarian merupakan institusi paling buruk dalam hal penanganan konflik agraria.
Potret di atas menunjukkan konstitusionalitas rakyat atas tanah yang dijamin UUD 1945 dan UUPA 1960 yang menjadi cita-cita kemerdekaan seperti tak berlaku bagi BUMN/PTPN. Petani, masyarakat adat dan masyarakat agraris di pedesaan tak ubahnya seperti masih hidup di alam penjajahan saat UU Agraria Kolonial diberlakukan.
Pengabaian Respon Masyarakat dan Kementerian/Lembaga oleh PTPN
Langkah-langkah represif di lapangan oleh pihak PTPN yang melahirkan sejumlah response diabaikan. Bahkan PTPN terkesan dengan sengaja melakukan pengabaian atas sejumlah respon, reaksi dan kecaman atas peristiwa kekerasan yang terjadi baik oleh masyarakat sipil maupun lembaga negara. Sehingga, tindakan refresif PTPN III terus berlangsung tanpa perubahan.
Salah satu contoh konflik agraria yang tengah terjadi di Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Martoba, Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara. Petani dan warga setempat hidup dalam ketakutan sejak pertengahan Oktober dan berlangsung hingga sekarang. Penyebabnya, rencana PTPN III yang ingin mengaktifkan kembali HGU yang telah mereka terlantarkan sejak 2004. Padahal, klaim PTPN atas areal ini tidak memiliki dasar yang kuat dan merupakan perbuatan melawan hukum. Sebab, PTPN III berdasarkan Surat BPN RI No.3000-310.3-D tertanggal 19 September 2007 menyatakan HGU PTPN III tidak lagi diperpanjang.
Respons Kementerian ATR/BPN-RI, Kantor Staf Presiden (KSP), Komnas HAM, lembaga keagamaan dan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terjadi akibat penggusuran tanaman masyarakat dengan mudah diabaikan oleh direksi PTPN dan BUMN.
Macetnya Langkah Penanganan dan Penyelesaian Konflik
Ketiadaan roadmap penyelesaian masalah konflik agrarian pada PTPN dan diskriminasi hukum yang menguntungkan PTPN telah menyebabkan tiadanya langkah penangan yang ada. Meski PTPN menelantarkan tanah, tidak banyak yang memiliki dasar hukum agrarian yang kuat dan juga tidak banyak memberikan keuntungan kepada negara, PTPN telah menyebabkan banyak kemacetan sejumlah rencana penyelesaian konflik agraria yang seharusnya dapat diselesaikan lebih mudah.
Sebagai contoh, konflik agrarian masyarakat PTPN dan warga masyarakat di wilayah Simalingkar dan Sei Mencirim yang telah bertemu Presiden dua kali dan dijanjikan selesai tetapi masih menemui kebuntuan hingga petani kembali mengadu ke Jakarta di tahun 2022. Posisi untouchable dari Menteri BUMN ini menimbulkan tanda tanya besar, jika selevel Presiden saja tetap tak mampu instruksikan Menteri BUMN atau membuat keputusan politik dan hukum yang mengikat para pihak, lantas kepada siapa masalah ini harus digantungkan harapan penyelesaiannya?
Beberapa kemacetan penanganan dan penyelesaian konflik agraria PTPN/BUMN diakibatkan oleh langkah yang diambil, model dan modus PTPN serta para pihak yang terlibat, diantaranya:
Proses Penerbitan HGU Bermasalah
Banyak bagian tanah dari perkebunan PTPN hingga sekarang sebenarnya tidak didukung bukti sertifikat HGU. Sehingga pada beberapa lokasi kebun, perusahaan baru saja memulai pendaftaran HGU. Namun, dokumen-dokumen pendaftaran tanah semacam ini tidak mendukung pendaftaran tanah. Sebab, jika tanah yang belum didaftarkan adalah bagian dari sejarah nasionalisasi perkebunan eks perkebunan colonial Belanda maka jika belum dikonversi hingga saat ini tentu menjadikan tanah negara bebas yang berarti masyarakat yang menggarap memiliki hak. Apalagi secara nyata di atas tanah tersebut terdapat kenyataan bahwa tanah telah menjadi lahan produktif dan perumahan masyarakat.
Keinginan untuk menerbitkan HGU di atas tanah ini telah menyebabkan perusahaan melakukan kolaborasi dengan pam swakarsa, serikat pekerja, hingga kepolisian dalam mengusir masyarakat di atas tanah.
Pada proses pendaftaran HGU ini, masyarakat penggarap seharusnya mendapatkan informasi yang utuh dari ATR/BPN-RI, Pemerintah Daerah tentang pendaftaran HGU. Apalagi seringkali ATR/BPN-RI menyatakan bahwa pendaftaran tidak dapat ditindaklanjuti namun memberi jalan proses dapat dilanjutkan jika masyarakat sudah diusir dari lapangan. Padahal ketika PTPN dinyatakan tidak dapat mendaftarkan sesungguhnya membuka peluang masyarakat mendaftarkan tanah Garapan dan perkampungan mereka sesuai dengan PP 24/1997 sebagaimana telah diubah dalam PP 18/2021 tentang Pendaftaran Tanah.
Penggusuran Akibat Perpanjangan HGU
Perpanjangan HGU yang banyak mengandung mal adminsitrasi pada PTPN mengakibatkan banyak kasus pengusiran dan penggusuran warga. Misalnya, atas nama perpanjangan HGU, terjadi di PTPN IV di Sumatra Utara juga melakukan hal yang sama yakni penggusuran warga dari tanahnya di Desa Maria Jambi, Kabupaten Simalungun. Dengan pengawalan aparat keamanan, pihak PTPN IV membabat habis tanaman dan menghancurkan lahan pertanian warga seluas 20 hektar tepat di saat memasuki masa panen. Ratusan ibu-ibu, anak-anak, warga berteriak histeris dan menangis karena tak kuasa menghentikan tindakan brutal PTPN IV yang menghancurkan tanaman jagung mereka. Padahal, masyarakat menggarap tanah tersebut sesuai dengan SK dari Pemkab Simalungun sejak tahun 1968.
Contoh kasus lainnya yang dialami Warga Kampung Likudengen, Desa Uraso, Kecamatan Mappadeceng, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Kita tentu tidak akan lupa dengan sikap jumawa PTPN XIV pada masa-masa awal Covid-19 melanda Indonesia. Di tengah krisis yang berlangsung, perusahaan memaksa para penggarap meninggalkan tanah mereka dengan klaim pemilikan HGU.
Padahal secara de facto, masyarakat telah menguasai tanah tersebut selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Pada tahun 1983-1984, PTPN XIV mulai melakukan klaim dan menanam sawit di tanah masyarakat tanpa dasar HGU, sebab PTPN baru memiliki dasar hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 01 November 1995 Nomor 67 / HGU / BPN / 95 dengan masa berlaku selama 35 tahun. Penerbitan HGU ini pun menyalahi aturan dan cacat prosedural sebab abai terhadap fakta fisik di lapangan, sejarah penguasaan tanah oleh masyarakat sehingga melanggar prinsip clear dan clean yang sering menjadi dasar Kementerian ATR/BPN.
Tukar Menukar dan Peralihan HGU Menjadi HGB
Kasus tukar menukar dan perialihan HGU menjadi HGB juga menjadi salah satu sebab konflik agrarian dengan PTPN. Sebagai contoh tanah eks HGU PTPN yang akan dijadikan lokasi perluasan pembangunan pemerintah Kota Pematangsiantar.
Rencana ini didukung penuh oleh walikota, sehingga cenderung mendukung upaya PTPN untuk mengusir masyarakat dari tanahnya. Pengerahan aparat kepolisian dan TNI untuk menggusur warga juga menjadi “senjata” yang ditempuh. Dalam kasus ini, PTPN bersama Pemda secara nyata hendak mengelabui aturan demi kepentingan pengembangan bisnis atas nama menyelematkan asset Negara.
Pola-pola pengalihan hak secara sepihak seperti contoh kasus yang dilakukan PTPN III sudah jamak terjadi. Kasus lain misalnya PTPN II yang terindikasi bangkrut lalu banting stir memperjualbelikan asetnya kepada perusahaan properti untuk kemudian dijadikan HGB. Adalah PT Ciputra Group yang menjadi rekanan melalui proyek Deli Megapolitan. Proyek seluas 8.077 hektar dengan biaya sekitar Rp. 128 triliun tersebut mengancam wilayah dan tanah Masyarakat Adat Rakyat Penunggu seluas 1.303 hektar yang telah dikuasai selama puluhan tahun, bahkan sebelum Republik ini lahir.
Ketiadaan Roadmap Penyelesaian Konflik Agraria BUMN
Menteri BUMN boleh saja mengklaim telah melakukan perubahan terhadap perusahaan-perusahaan yang dimiliki Negara. Bahkan PTPN dan Perhutani pun konon tidak lepas dari aksi bersih-bersihnya. Namun di lapangan agraria, masyarakat korban konflik agraria struktural selama ini melihat PTPN tak ubahnya seperti perusahaan-perusahaan VOC di masa penjajahan. Perusahaan negara yang datang menghidupkan dan memaksakan azas domein verklaring (klaim negara secara sepihak dan membabi-buta) tanpa melihat historitas penguasaan dan pemilikan tanah, bermotif mengeruk kentungan semata dengan mengorbankan kehidupan rakyat banyak, masuk kampung-kampung dilengkapi pasukan bersenjata dan alat berat, menyebar terror hingga bertindak represif.
Meski sudah banyak kritik dan usulan penyelesaian konflik agraria yang dialamatkan kepada pihak Kementerian BUMN dan PTPN, nampaknya Kementerian BUMN tidak memiliki roadmpa penyelesaian konflik agrarian sebagai bagian dari usaha mewujudkan korporasi usaha yang baik. Sebagai lembaga yang memberikan kerangka regulasi dan “pengendali usaha” operasi usaha BUMN perkebunan, pemahaman dan kepedulian kementerian ini terhadap konflik agrarian sangat minim.
Akibatnya, banyak pula usulan dan desakan penyelesaian konflik mengalami jalan buntu. Berdasarkan Data KPA, konflik agraria yang melibatkan PTPN dan Perhutani setidaknya terjadi di 237 desa dengan luasan mencapai 330.024 hektar. Data ini baru mengacu pada Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Anggota KPA saja.
Meskipun lokasi-lokasi tersebut telah berulangkali diterima langsung pengaduannya oleh Presiden sebagai bagian dari tuntutan evaluasi terhadap kegagalan RA PTPN dan Perhutani, namun lagi-lagi penyelesaiannya tidak berhasil. Pihak BUMN, PTPN dan Perhutani terus-menerus berlindung di balik dalih menyelamatkan asset negara. Karena itu hingga sekarang belum ada K/L yang berusaha keras mencari solusi dan terobosan hukum meskipun sebenarnya memiliki kewenangan.
Semakin ironis, meski dilaporkan bahwa telah dilakukan Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet yang membahas mengenai Reforma Agraria dan penangan konflik agrarian, bahkan Presiden berulang kali mempertanyakan kemajuan dan menginstruksikan percepatan penyelesaian konflik kepada Menteri BUMN situasi tidak banyak berubah.
Pentingnya Terobosan Hukum dan Politik
Mandegnya penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah untuk kepentingan reforma agraria terkait masalah PTPN sebenarnya bukan lah terletak pada kekurangan regulasi. Terdapat UUPA 1960, PP No.40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, sebagaiman telah diubah ke dalam PP 18/2021 tentang Pendaftaran Tanah hingga termutakhir ada Perpres No. 86 tentang Reforma Agraria yang juga menuntut pelaksanaan reforma agraria terhadap HGU-HGU bermasalah dan/atau kadaluarsa, apalagi HGU-HGU PTPN yang mencaplok perkampungan dan pertanian produktif sejak puluhan tahun.
Penting dilakukan kepemimpinan politik presiden untuk menghadirkan terobosan hukum terkait klaim-klaim asset negara di atas desa-desa dan tanah produktif masyarakat. Sebetulnya hal ini bukanlah sesuatu yang sulit jika Presiden mengarahkan seluruh jajaran kabinet untuk duduk bersama dan melakukan kesepakatan untuk segera menuntaskan konflik-konflik agraria PTPN.
Bahkan KPK, Ombudsman, MA, Komisi Yudisial, Polri dan para pihak yang relevan dan urgent dapat dengan mudah dilibatkan oleh Presiden untuk menjawab alasan-alasan dan hambatan hukum klasik-normatif selama ini terkait asset negara. Kekhawatiran tuduhan penggelapan asset juga selalu dibenturkan ketika menjawab aspirasi rakyat. Ratas Presiden seharusnya mampu menghasilkan terobosan dan pembaruan hukum yang progresif, mengikat dan konkrit jika political will memang kuat.
Tim Kampanye dan Manajemen Pengetahuan,
Konsorsium Pembaruan Agraria