Jajak pendapat yang dilakukan Kompas menunjukkan 58,9 persen responden menunggu gagasan para calon untuk tema ekonomi kerakyatan pada debat kedua nanti. Artinya, publik sangat konsern dengan isu-isu pada tema tersebut. Tidak mengherankan, sebab tema ekonomi kerakyatan tali-temali dengan bagaimana usaha pemerintah ke depan menuntaskan kemiskinan yang masih menjadi momok hingga saat ini.
Lalu bagaimana potret kemiskinan di sektor pertanian? Data BPS 2020 menunjukkan rumah tangga tergolong miskin di Indonesia sebagian besar berasal dari sektor pertanian mencapai sebesar 46,30 %.
Data tersebut menyajikan kenyataan yang cukup ironis, sebab sektor pertanian merupakan salah satu tumpuan perekonomian nasional bahkan di tengah situasi krisis. Pengalaman selama pandemi membuktikan, sektor pertanian rakyat mampu menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Laporan BPS 2020 mencatat sektor pertanian mampu tumbuh 1,75 persen di tengah banyak sektor yang terkontraksi.
Sementara, rilis Kemenko Perekonomian Juni 2021 menyebutkan 64,13 ekonomi Indonesia ditopang oleh sektor pertanian, industri, perdagangan, kontruksi dan pertambangan. Dari lima sektor tersebut, hanya sektor pertanian yang mengalami laju pertumbuhan positif sebesar 2,15 (yoy) di tengah krisis yang melanda.
Dari data di atas dapat kita simpulkan, sektor pertanian masih menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Dan yang paling tidak kalah penting adalah ketangguhan sektor ini dalam menghadapi krisis.
Lalu bagaimana upaya pemerintah selama ini? Kembali kita menelan kenyataan pahit, sebab sektor pertanian masih terpinggirkan dari sisi kebijakan. Alih-alih melahirkan kebijakan yang memprioritaskan nasib kehidupan petani, nelayan dan masyarakat adat yang merupakan produsen utama pangan bangsa ini, Pemerintah justru terus menjalankan kebijakan yang kontraproduktif.
Situasi ini diperparah dengan orientasi kebijakan berbasis korporasi melalui Food Estate dan impor pangan yang semakin membahayakan kehidupan petani, masyarakat adat. Kegagalan food estate di Humbahas, Sumut dan Kalteng adalah cerminan kesalahan pemerintah yang memberikan tanggung jawab produksi pangan ke korporasi, alih-alih petani.
Kenyataan pahit yang diterima pada produsen pangan ini tidak berhenti sampai di situ. Setiap tahun mereka terancaman kehilangan tanah dan sumber pengidupan akibat deras dan masifnya pembebasan tanah untuk pembangunan proyek-proyek strategis nasional.
Data KPA mencatat, empat tahun (2020-2023) terakhir saja sedikitnya terjadi 111 letusan konflik agraria akibat praktek-praktek penggusuran dan perampasan tanah, yang tidak jarang menyasar tanah-tanah pertanian produktif. Data Kementerian Pertanian mencatat setiap tahun sedikitnya 100 ribu hektar terjadi terkonversi tanah untuk kebutuhan pembangunan.
Tak pelak, jumlah petani gurem semakin meningkat akibat lahan yang semakin menyempit. Survey BPS 2023 menyebutkan jumlah petani gurem bertambah menjadi 16,89 juta dari 14,25 juta dari tahun 2013.
Pergantian kekuasaan 2024 ini merupakan momentum sebagian besar rakyat terutama petani untuk kembali menaruh harapan besarnya bagi perbaikan kehidupan ke depan. Itu lah sebabnya, tema ekonomi kerakyatan pada debat kedua nanti sangat ditunggu-tunggu publik. Sebab mereka ingin tau apa dan bagaimana para kandidat menawarkan strategi, pendekatan dan kebijakan ketika terpilih nanti.
Dua hal yang perlu menjadi catatan para kandidat di sektor ekonomi kerakyatan khususnya di bidang pertanian rakyat.
Pertama, pemerintah ke depan sudah selayaknya mempercepat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah kepada petani, nelayan dan masyarakat adat. Sebab pertanian rakyat bukan hanya perihal subsidi pupuk, benih dan pasar. Namun hal yang tidak kurang lebih krusial adalah bagaimana Negara mengakui dan menjamin hak atas yang cukup dan layak bagi para produsen pangan kita tersebut. Pengalaman selama pandemi mencatat justru pertanian rakyat lah yang lebih mampu bertahan disbanding korporasi-korporasi pangan skala besar seperti food estate.
Kedua, hal itu harus lah sejalan dengan upaya mendorong sistem ekonomi, tata produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkeadilan, berkelanjutan dan berwatak kerakyatan. Mendorong usaha-usaha bersama seperti badan usaha milik petani, nelayan dan masyarakat adat dalam bentuk koperasi, CU, bank tani dan lainnya.
Dengan demikian akan tercipta lumbung-lumbung pangan nasional yang berdaulat dan mandiri, serta mampu memberikan kesejahteraan bagi petani, nelayan dan masyarakat adat serta masyarakat pedesaan lainnya yang bekerja di sektor pertanian.
*) Catatan Redaksi