JAKARTA — Pegiat lingkungan dan pemerhati masyarakat adat ragu akan komitmen tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden untuk menuntaskan masalah yang dihadapi masyarakat adat. Keraguan itu didasari inkonsistensi visi-misi masing-masing kandidat dengan rekam jejak dan afiliasi dengan korporasi.
Menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Melky Nahar, tiga kandidat yang saat ini bertarung dalam pilpres 2024 cenderung mengandalkan industri ekstraktif untuk membiayai kegiatan politik. Begitu juga dengan partai dan barisan tim pemenangan yang mendukung mereka. Adapun pelindungan terhadap masyarakat adat justru dapat mengancam industri ekstraktif tersebut. “Karena industri rakus lahan dan air sehingga selalu mengokupasi eksistensi serta ruang hidup masyarakat adat,” kata Melky, kemarin.
Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan tiga pasangan capres-cawapres sebagai peserta pilpres 2024. Mereka adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. dengan nomor urut 3. Pada Ahad ini, KPU kembali menggelar debat terbuka yang diikuti oleh calon wakil presiden. Adapun tema debat kali ini membicarakan persoalan energi, sumber daya alam, sumber daya manusia, pajak karbon, lingkungan hidup dan agraria, serta masyarakat adat.
![](https://images-tm.tempo.co/all/2024/01/20/852284/852284_1200.jpg)
Melky mengatakan, dalam visi dan misi pasangan Prabowo-Gibran, tidak ditemukan pembahasan yang spesifik tentang masyarakat adat. Pasangan ini justru secara tegas menyatakan bakal melanjutkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Padahal proyek itu dinilai tidak berpihak kepada masyarakat adat karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan investor.
Untuk pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, kata Melky, memang menyinggung pelindungan serta pengakuan terhadap masyarakat adat dalam dokumen visi-misi mereka. Namun ia pesimistis dua pasangan itu bakal merealisasinya. Sebab, masing-masing pasangan calon mendapat sokongan dari kelompok pebisnis yang memiliki kepentingan dalam penguasaan sumber daya alam. “Ini pasti bersinggungan dengan masyarakat adat,” katanya.
Seandainya mereka bisa menjalankan agenda visi dan misi, kata Melky, pengakuan wilayah atas masyarakat adat diyakini tidak akan maksimal. Dengan demikian, konflik agraria antara masyarakat adat dan badan usaha akan tetap terjadi. “Padahal penderitaan masyarakat adat akibat konflik agraria sudah berlarut-larut,” kata dia. “Masyarakat adat tersingkir, lahan dicaplok, hingga dikriminalisasi.”
Menurut Melky, isu masyarakat adat yang tercantum dalam visi dan misi mereka terkesan hanya basa-basi. Tujuannya semata-mata untuk mendapatkan keuntungan elektoral, bukan dalam kerangka menyelesaikan masalah. “Tidak ada satu pun visi dan misi mereka untuk merevisi berbagai kebijakan yang telah menyingkirkan masyarakat adat,” katanya.
Melky mencontohkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara. Dalam aturan itu, pemerintah justru memberikan izin hak guna usaha bagi investor selama 95 tahun dalam satu siklus. Bahkan, bisa diperpanjang untuk siklus kedua dengan masa yang sama. “Sehingga, jika ditotal, investor bisa berusaha di IKN sampai 190 tahun,” kata Melky.
![Komitmen Kandidat Untuk Masyarakat Adat](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/komitmen-kandidat-untuk-masyarakat-adat-2.jpg)
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus mengatakan pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat hingga saat ini masih rendah. Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), wilayah pengakuan masyarakat adat baru sebesar 14 persen dari peta wilayah adat. “Selain itu, masyarakat adat tidak memiliki kesempatan terlibat secara bermakna dalam perencanaan pembangunan,” kata Syamsul, kemarin.
Anggaran yang disediakan pemerintah untuk proses pengakuan, pelindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat juga masih rendah. Belum lagi, banyak wilayah adat yang dicaplok oleh perusahaan. Persoalan ini yang membuat konflik agraria tidak pernah ada ujungnya. “Konflik itu menyebabkan perampasan ruang hidup, menghancurkan kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat adat,” ujar Syamsul. Namun permasalahan yang dihadapi masyarakat adat itu, kata Syamsul, sama sekali tidak menjadi perhatian pasangan calon.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Sartika sependapat dengan Syamsul. Tiga kandidat yang bertarung dalam pilpres 2024 tidak menempatkan agenda reforma agraria sebagai agenda pokok. “Padahal reforma agraria sesungguhnya merupakan agenda politik yang strategis dan politis bagi mayoritas penduduk Indonesia,” katanya.
Dewi mencontohkan pasangan Anies-Muhaimin yang menawarkan program reforma agraria dengan model pemberian akses manfaat untuk tanah milik badan usaha milik negara (BUMN) dan pemerintah daerah. Namun ia menilai model ini justru kontraproduktif. “Sebab, pemberian akses manfaat tanah milik BUMN di daerah konflik bakal melegitimasi penguasaan negara atas tanah rakyat,” ujarnya.
Adapun pasangan Prabowo-Gibran bertekat melanjutkan program food estate. Padahal program itu sudah terbukti gagal, bahkan menjadi praktik perampasan wilayah adat. Sementara itu, pasangan Ganjar-Mahfud masih memaknai legalisasi tanah sebagai reforma agraria. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, skema legalisasi tanah atau sertifikasi tanah justru menyebabkan pelaksanaan reforma agraria menyimpang secara ideologis. “Ini karena koreksi konflik agraria tak disentuh, yang digenjot hanya bagi-bagi sertifikat yang dilakukan di kawasan tak berkonflik,” kata Dewi.
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menjelaskan, legalisasi aset berbeda dengan reforma agraria. Tujuan pelaksanaan reforma agraria adalah mengoreksi ketimpangan atas penguasaan tanah. Dengan adanya koreksi itu, terjadi perubahan mendasar terhadap hak atas tanah yang dikuasai korporasi, badan swasta, ataupun pemerintah. “Pemberian sertifikat justru menguatkan ketimpangan itu,” katanya.
Kasmita juga ragu tiga kandidat capres-cawapres bisa berbuat banyak untuk kepentingan masyarakat adat. Apalagi mereka memiliki rekam jejak mendukung pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Sebab, undang-undang itu sangat jelas dibuat untuk kepentingan investasi, bukan kepentingan masyarakat adat. Salah satu aturan turunan yang merugikan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang kemudahan berusaha di IKN. “Aturan ini menyebabkan kerusakan lingkungan hingga merampas ruang hidup masyarakat adat,” ujarnya.
Juru bicara Tim Pemenangan Nasional Anies-Muhaimin, Irvan Pulungan, mengatakan pasangan yang ia dukung memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi masyarakat adat. Mereka akan menata peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Penataan itu nanti dapat memberikan akses partisipasi masyarakat adat yang berkeadilan.
![](https://images-tm.tempo.co/all/2024/01/20/852283/852283_1200.jpg)
Tidak hanya itu, kata Irvan, Anies juga berjanji menetapkan tata batas kawasan hutan untuk hak ulayat. Sebab, tata batas yang telah ditetapkan selama ini masih menimbulkan konflik, terutama dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah kerap menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) tanpa melihat tata batas hak ulayat. “Kemudian, kami juga akan memasukkan kawasan hutan adat dalam peta kawasan hutan,” katanya. “Lalu pendaftaran hak atas tanah perlu dikelola juga.”
Anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Immanuel Ebenezer, memberi klaim senada. Menurut dia, Prabowo-Gibran berkomitmen melindungi masyarakat hukum adat. Namun dia tidak merinci bentuk kebijakan yang akan diterapkan untuk melindungi masyarakat adat itu. “Intinya, kami mendukung upaya melindungi masyarakat,” katanya. “Apa pun untuk kepentingan NKRI akan dilakukan Prabowo.”
Deputi Inklusi Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Sandra Moniaga, mengatakan Ganjar dan Mahfud akan memperjuangkan hak masyarakat adat dengan menghadirkan Deputi Inklusi dalam struktur Tim Pemenangan Nasional. Tugas kedeputian ini salah satunya adalah memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat di Indonesia diakui dan dipenuhi.
Ganjar dan Mahfud juga memiliki serangkaian program untuk mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat terhadap hutan, tanah, dan sumber daya lainnya. “Misalnya dengan mendukung percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dan membentuk satuan tugas (satgas) penyelesaian konflik agraria yang beroperasi di bawah presiden,” katanya.
Oleh: Hendrik Yaputra
Artikel ini telah tayang perdana di Koran.tempo.co dengan judul “Komitmen Kandidat untuk Masyarakat Adat”, Klik untuk baca:
https://koran.tempo.co/read/nasional/486790/komitmen-kandidat-untuk-masyarakat-adat