Konflik lahan di Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, berlangsung hampir dua dekade terakhir. Warga berusaha mempertahankan ruang hidup dan penghidupannya, sementara di sisi lain ada klaim pengelolaan dari badan usaha milik negara. Kelindan persoalan menjadi runyam karena perubahan sikap pemerintah daerah setempat.
Ketidakpastian akan ruang hidup dan penghidupan itu seperti dialami oleh Ruding (80), salah satu warga Desa Batu Mila, Kecamatan Maiwa. Boleh dikata, lebih dari separuh hidupnya selalu berhadapan dengan konflik dan ancaman bencana. Lelaki asal Enrekang ini telah merasakan banjir bandang di Luwu Utara, Sulsel, hingga kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah. Perantauannya pun berakhir saat konflik Poso pecah.
”Saya kembali ke Enrekang. Saat itu tahun 1999, ada program bupati (Bupati Enrekang) untuk warga tak mampu, untuk menggarap lahan yang ditelantarkan PTPN di Maiwa dan saya ikut. Ternyata di sini pun berkonflik,” katanya saat ditemui di Desa Batu Mila, Selasa (9/1/2024).
Dia tak pernah bisa melupakan peristiwa tahun 2022. Ketika itu, buldoser yang diturunkan pihak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV dengan dibantu pasukan Brimob meratakan kebunnya. Seluruh kebun yang ditanami durian, rambutan, merica, pala, hingga kakao rata dengan tanah. Tak satu pun tersisa.
![Konflik Lahan Di Maiwa Rampas Kehidupan Warga](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga-2.jpg)
Hal yang sama dialami Tahir (50). Dia mengingat betul, ketika buldoser itu datang, ia sedang memanen lada di kebunnya. Hari itu yang seharusnya menjadi saat gembira berubah menjadi duka. Kegembiraan panen beralih menjadi kesedihan.
”Sekarang saya tanam jagung. Itu pun di sekitar kampung saja dan tak banyak. Ada juga padi ladang. Untuk keperluan makan saja. Selebihnya saya jadi buruh tani,” kata bapak empat anak ini.
Sebagai buruh tani, Tahir kerap bekerja menanam jagung dengan upah Rp 50.000 untuk setiap kilogram benih yang ditanam. Dalam sekali musim tanam, paling banyak hanya 3 kg yang ditanam karena ada banyak warga lain yang ikut menjadi buruh. Panggilan kerja menanam jagung biasanya hanya sekali dalam empat bulan.
Jika Ruding dan Tahir harus melihat kebunnya diratakan dengan tanah, Ibrahim (50) dan banyak peternak lainnya di desa itu harus menyaksikan ternak sapi mereka mati.
![Konflik Lahan Di Maiwa Rampas Kehidupan Warga](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga-3.jpg)
”Seusai kebun diratakan, rumput-rumput disiram dengan racun. Sapi saya banyak yang mati dengan mulut berbusa. Ada yang kakinya ditebas dan tubuhnya dilukai. Entah oleh siapa,” katanya.
Rasa khawatir
Ruding, Tahir, dan Ibrahim hanya tiga dari ratusan keluarga yang menghadapi konflik lahan dengan PTPN XIV. Hidup mereka kini diliputi rasa khawatir. Setiap saat waswas jika buldoser akan datang.
”Kebun sudah habis, tinggal rumah yang belum diratakan. Kalau harus keluar dari sini, entah kami mau ke mana dan bekerja apa?” kata Efendi (60), penyadap nira dan pembuat gula aren.
Efendi pun kini kehilangan sumber penghidupan karena pohon-pohon aren ikut diratakan dengan tanah. Hanya satu-dua yang tersisa di belakang rumahnya.
![Konflik Lahan Di Maiwa Rampas Kehidupan Warga](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga-4.jpg)
Ada pula Saharuddin (80) yang bernasib sama. Seluruh tanaman kebunnya habis. Sumber penghidupannya dirampas. Tak hanya itu, salah satu kerabatnya—yang shock melihat buldoser masuk hingga perkampungan—ditemukan meninggal dalam kondisi duduk. Warga desa diliputi duka dan amarah.
Dalam kondisi waswas dan penuh ketidakpastian, warga kini setiap hari berjaga di pos koordinasi (posko) perjuangan yang terletak di mulut kampung. Sebuah rumah panggung sederhana menjadi tempat berkumpul sekaligus mengawasi situasi.
”Setiap hari warga bergantian berjaga kalau-kalau pihak PTPN datang lagi dan mau meratakan rumah mereka. Di posko ini pula warga berbagi. Mereka membawa bekal dan makan bersama. Jika ada yang tak punya makanan di rumah, ikut makan di sini. Mereka hidup dalam keprihatinan sekaligus ketakutan,” kata Zulfikar, Ketua Aliansi Masyarakat Massenrempulu (Ampu).
Sejak beberapa tahun terakhir, Ampu menjadi komunitas yang menjadi tempat berkumpul warga yang menghadapi konflik lahan dengan PTPN XIV, terutama yang berdiam di Desa Batu Mila.
![Konflik Lahan Di Maiwa Rampas Kehidupan Warga](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga-5.jpg)
Konflik antara warga dengan PTPN XIV sebenarnya sudah berlangsung lama. Namun, menjadi ramai kembali sejak lebih dari dua tahun lalu.
HGU berakhir
Konflik ini bermula saat lahan seluas 5.230 hektar masuk dalam kawasan hak guna usaha (HGU) Bina Multi Ternak (BMT). Lahan ini terhampar di tiga kabupaten di Sulsel, yakni Enrekang, Pinrang, dan Sidrap. Namun, sebagian besar lahan berada di Enrekang yang meliputi dua kecamatan, yaitu Maiwa dan Cendana. Saat ini lahan bekas HGU PT BMT itu tinggal 3.265 hektar setelah sebagian di antaranya dijadikan kebun raya dan bumi perkemahan.
BMT mengelola peternakan sapi sejak 1973. Awalnya, HGU yang diberikan hanya 15 tahun dan diperpanjang hingga tahun 2003. Pada tahun 1996, kepemilikan lahan berganti dan HGU atas lahan itu berpindah ke PTPN XIV. Lahan itu tidak lagi dijadikan tempat peternakan sapi, tetapi diubah menjadi kebun ubi untuk produksi tepung tapioka. Namun, usaha ini tidak berjalan lancar.
Staf Fungsional Penata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Enrekang, Anshar, mengatakan, sebelum HGU habis, Bupati Enrekang pada saat itu, Iqbal Mustafa, mengeluarkan surat bernomor 387/SK/XI/1999. Inti dari surat ini adalah pembentukan tim penertiban dan pemanfaatan lahan tidur/telantar pada areal PTPN XVI/PTUK Maroangin.
![Konflik Lahan Di Maiwa Rampas Kehidupan Warga](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga-6.jpg)
”Salah satu inti dari surat tersebut adalah penertiban dan penataan lahan telantar. Selain itu, mendata warga yang kurang mampu untuk mendapatkan hak pengolahan,” katanya.
Surat inilah yang menjadi dasar bagi masyarakat untuk mengolah lahan ini. Sebagian dari pengelola lahan adalah pendatang dan sebagian lainnya sudah turun-temurun ada di kawasan tersebut. Warga membuka lahan pertanian dan perkebunan, serta sebagian beternak sapi dan kerbau di lahan tersebut.
Setelah satu dekade vakum, pada 2016 PTPN kembali masuk dan memulai aktivitas penanaman sawit.
Hal ini berlangsung hingga HGU PTPN berakhir pada tahun 2003. Setelah satu dekade vakum, pada 2016 PTPN kembali masuk dan memulai aktivitas penanaman sawit.
Zulfikar menambahkan, bupati saat itu, Muslimin Bando, sempat mengeluarkan larangan karena HGU PTPN sudah habis dan belum diperpanjang. Dalam surat bernomor 180/1657/setda, tertanggal 2 Juni 1996, yang ditujukan kepada PTPN XIV, dengan tegas bupati mengatakan perusahaan ini tak lagi berhak melakukan aktivitas di eks lahan HGU tersebut.
![Konflik Lahan Di Maiwa Rampas Kehidupan Warga](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga-7.jpg)
Dalam surat peringatan tersebut, bupati mengemukakan alasan pelarangan aktivitas, yakni karena alas hak sudah tidak ada, dan selama menguasai lahan tersebut, PTPN XIV sama sekali tidak memberikan manfaat dan kontribusi baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah daerah. Bahkan, mereka juga tidak membayar pajak.
Dalam surat disebut juga selama ini lahan eks HGU PTPN XIV Maroangin hanya menjadi sumber masalah. Mayoritas penduduk di Maroangin adalah petani. Keberadaan lahan yang menganggur di Maroangin menjadi ironi bagi warga setempat yang mayoritas petani. Sebab, ada tanah yang sangat luas dan seharusnya dapat dimanfaatkan menjadi sumber penghidupan warga, tetapi saat itu dibiarkan terbengkalai.
”Berdasarkan pengalaman panjang keberadaan PTPN XIV di Maroangin tersebut, kami menilai bahwa hampir tidak ada alasan untuk merekomendasikan perpanjangan HGU tersebut,” demikian surat yang ditandatangani bupati waktu itu, Muslimin Bando.
Terus berlanjut
Seolah tak menggubris surat peringatan tersebut, penanaman sawit terus berlangsung. ”Awalnya tak ada tindakan penggusuran. Namun, pascapandemi Covid-19, pihak PTPN mulai mengusir warga. Puncaknya adalah saat mereka meratakan kebun warga,” kata Zulfikar.
![Konflik Lahan Di Maiwa Rampas Kehidupan Warga](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga-8.jpg)
Aksi unjuk rasa yang dilakukan warga pun berakhir dengan sejumlah petani luka tertembak. Beberapa di antaranya ditangkap. Penggusuran oleh PTPN dengan dalih land clearing dilakukan setelah bupati yang semula menolak berubah sikap dan mengeluarkan surat rekomendasi untuk mengurus perpanjangan HGU pada 2020.
Tak hanya soal HGU, warga juga menyoroti persoalan lingkungan akibat pembukaan lahan sawit. Di sejumlah titik, sungai tertimbun material. Di titik lain, penanaman dilakukan di sempadan, bahkan bibir sungai.
”Rekomendasi ini menjadi dasar PTPN menggusur warga. Padahal, sebenarnya kegiatan mereka pun ilegal karena melakukan aktivitas penanaman di lahan yang HGU-nya sudah habis sejak 2003. Di lahan eks HGU, ada peruntukan lain seperti bumi perkemahan, kebun raya, hingga kebun milik pribadi pejabat yang tak diganggu. Padahal, mestinya semua dalam posisi yang sama dengan kami. Jika warga disebut ilegal, mestinya PTPN pun ilegal karena perpanjangan HGU mereka belum ada sampai saat ini,” kata Zulfikar.
Tak hanya soal HGU, warga juga menyoroti persoalan lingkungan akibat pembukaan lahan sawit. Di sejumlah titik, sungai tertimbun material. Di titik lain, penanaman dilakukan di sempadan, bahkan bibir sungai.
”Tapi, berbagai pelanggaran ini seolah dibiarkan. Sebaliknya, warga yang terus berusaha diusir dengan dalih menyerobot lahan,” kata Rahmawati Rahim, salah satu koordinator Ampu.
![Konflik Lahan Di Maiwa Rampas Kehidupan Warga](http://www.kpa.or.id/image/2024/01/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga-9.jpg)
Anshar melihat persoalan ini sebenarnya bisa diselesaikan jika semua pihak, terutama kementerian terkait, punya itikad untuk duduk bersama. Mengingat persoalan ini sudah lintas sektor, penyelesaian persoalan ini akan mudah dengan mengembalikan pada detail perencanaan tata ruang.
”Dalam rencana pemanfaatan ruang, kawasan tersebut sebenarnya sangat cocok untuk peternakan, seperti yang dilakukan BMT dulu. Tinggal diatur, pengelolaannya dengan melibatkan warga dan biarkan mereka tinggal di sana sebagai petani plasma untuk ikut menggarap. Dengan begini tak ada yang dikorbankan. Perusahaan bisa jalan, warga dan pemerintah juga mendapat manfaat,” paparnya.
Terkait persoalan ini, pihak PTPN XIV tidak memberikan respons atas permintaan klarifikasi dari Kompas.
Terkait dengan persoalan ini, pihak PTPN XIV tidak memberikan respons atas permintaan klarifikasi dari Kompas. Pesan permintaan wawancara juga tidak dibalas ketika laporan ini ditulis.
Kompas juga telah mengajukan permohonan wawancara kepada PT Perkebunan Nusantara III (Persero), induk (holding) perusahaan perkebunan milik negara, terkait dengan program reforma agraria yang dijalankan PTPN. Namun, hingga menjelang artikel ini diterbitkan, Minggu (21/1/2024) petang, Kompas belum mendapatkan jawaban dari PTPN.
Tulisan ini merupakan hasil liputan khusus Reforma Agraria, Kerjasama antara Konsorsium Pembaruan Agraria dengan Kompas untuk memotret dan mengurai persoalan konflik agraria di Sulawesi Selatan.
Artikel ini telah tayang perdana di Kompas.id dengan judul “Konflik Lahan di Maiwa Rampas Kehidupan Warga”, Klik untuk baca:
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/01/12/konflik-lahan-di-maiwa-rampas-kehidupan-warga