Siaran Pers Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Sumatra Utara
Sudah lebih dari enam dekade berjalan cita-cita Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960), rezim demi rezim berganti, janji penyelesaian konflik agraria hingga janji terlaksananya Reforma Agraria, masih menjadi ironi. Ketika petani menuntut hak atas tanahnya, dan sumber-sumber agraria, di respon dengan kriminalisasi, intimidasi, hingga teror. Salah satu aktor yang sering memainkan perannnya adalah PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Sepanjang tahun 2023 saja, tercatat 20 letusan konflik agraria yang melibatkan PTPN.
Pada Rabu, 5 Juni 2024 sekitar pukul 9 malam, petani Forum Tani Sejahtera Indonesia (FUTASI) kembali mendapat upaya penggusuran yang disertai tindakan kekerasan oleh pihak PTPN III. Kesekian kalinya pihak PTPN melibatkan preman dalam upaya penggusurannya. Kali ini lebih dari 50 orang security beserta preman bayaran, yang juga merupakan masyarakat sekitar Kelurahan Gurilla, untuk mengepung pemukiman petani FUTASI dan melempari batu ke rumah-rumah petani.
Beberapa petani kemudian mencoba mendatangi posko pihak PTPN, meminta agar menghentikan terror dan kriminalisai pihak PTPN. Upaya petani tersebut justru direspon dengan pemukulan dengan rotan dan pelemparan baru yang lebih massif, dan agresif. Akibatnya, salah seorang perempuan petani, Silvia Ramadani, yang juga bendahara FUTASI, mengalami luka serius bagian di kepala, diikuti pendarahan hingga tak sadarkan diri. Beberapa saksi mata melihat, jika pelaku sempat melakukan pelecehan seksual pada Ibu Silvia. Korban lainnya, Ibu Artha, menjadi sasaran pelemparan batu di bagian perut. Kedua korban segera dibawa ke RSUD Pematang Siantar, didampingi beberapa petani, mahasiswa, dan aktivis agraria yang juga berada di Gurilla. Sementara, beberapa petani bersama pendamping hukum dari LBH Pematang Siantar segera melaporkan kejadian ini ke Polres Pematang Siantar.
Kriminalisasi dan upaya penggusuran yang di sertai kekerasan telah berlangsung sejak Senin, 27 Mei 2024, sejak petani FUTASI menggelar aksi di depan gedung DPRD Siantar, menuntut percepatan penyelesaian konflik di Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Kelurahan Gurilla. Pihak PTPN IV justru merespon tuntutan tersebut dengan penganiayaan dan kriminalisasi terhadap petani FUTASI yang memperjuangkan hak atas tanahnya.
Di tanah seluas 126 hektar, yang sudah menjadi perkampungan dan pertanian selama hampir dua dekade, pihak PTPN IV memasangi patok-patok dan posko bagi mereka. Setiap malam, petugas keamanan PTPN IV beserta preman bayaran berkeliling ke pemukiman dan melempar batu ke dinding atau atap rumah petani.
Aksi tersebut sekaligus menjadi tuntutan agar PTPN IV segera menghentikan operasi illegalnya, karena faktanya HGU PTPN IV (sebelumnya PTPN III) telah ditelantarkan dan telah habis masa berlakunya sejak tahun 2004, pada BPN melalui Surat BPN RI No.3000-310.3-D tertanggal 19 September 2007 menyatakan HGU PTPN III (sekarang PTPN IV) tidak lagi diperpanjang. Bahkan pada tahun 2004 terdapat Surat Keputusan Walikota Pematangsiantar dan permohonan pada Kanwil Sumatera Utara untuk tidak memperpanjang HGU PTPN III Kebun Bangun (sekarang PTPN IV).
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengutuk keras tindakan PTPN III dan pembiaran konflik agraria yang dilakukan Pemerintah selama ini. Kami mendesak Kapolri untuk segera menindak tegas Direktur Utama PTPN III dan pelaku penganiayaan para petani di Kelurahan Gurilla, serta pelecehan seksual yang dialami perempuan petani. Kapolri perlu menindak tegas Kepolisian Sumatera Utara dan Pematang Siantar karena tidak menjalankan tugas pokok polisi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002.
Kepada Komnas HAM, untuk mendorong terjaminnya perlindungan Hak Asasi Manusia di wilayah konflik agraria seperti para petani FUTASI di Kelurahan Gurilla, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Kepada KOMNAS Perempuan, untuk mendorong Pemerintah melindungi hak-hak perempuan, termasuk mencegah dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik agraria.
Kepada Menteri BUMN, ini adalah kesekian kalinya kementerian berdiam diri pada konflik agraria struktural yang melibatkan PTPN III. Sepanjang tahun petani mengalami kekerasan dan pemaksaan penggusuran. Kami mendesak Menteri BUMN untuk segera memeriksa korupsi agraria, menjalankan Reforma Agraria, dan menghentikan cara-cara penangan konflik yang represif di lapangan.
Kepada Menteri ATR/BPN, agar mempercepat proses penyelesaian konflik agraria terkait klaim-klaim tanah aset negara (PTPN) di Sumatera Utara yang tumpang-tindih dengan desa, perkampungan dan tanah pertanian/kebun rakyat. Segera laksanakan redistribusi tanah pada LPRA Anggota KPA.
Kepada Presiden RI, melalui Menteri BUMN dan Menteri ATR harus berani dan segera menetapkan wilayah konflik agraria struktural petani dan masyarakat adat dengan PTPN di Indonesia menjadi obyek reforma agraria. Sebagai jalan untuk menata ulang struktur agraria yang timpang; penyelesaian konflik agraria; pemulihan hak atas tanah yang terampas; dan mensejahterakan masyarakat. Selain Desa Gurilla, setidaknya terdapat 150 Desa seluas 275.348 hektar di seluruh wilayah Indonesia yang berkonflik dengan PTPN, yang saat ini LPRA.
Pematang Siantar, 7 Juni 2024
Konsorsium Pembaruan Agraria
Suhariawan
Koordinator KPA Wilayah Sumatra Utara