Aceh Timur (kpa.or.id) – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) menyelenggarakan pendidikan reforma agraria bagi petani dan generasi muda di Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Nanggroeh Aceh Darussalam. Pendidikan ini upaya untuk memperkuat perjuangan dan advokasi hak atas tanah yang diperjuangkan para petani di beberapa wilayah di kabupaten tersebut. Pendidikan berlangsung selama tiga hari dari tanggal 5-7 Juni 2024 di Gampong Jambu Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur.
Para peserta berjumlah 30 orang, berasal dari 10 Gampong yang tersebar di tujuh kecamatan di Kabupaten Aceh Timur. Mereka tergabung dalam Aliansi Masyarakat Menggugat Keadilan (AMMK), forum organisasi yang dibangun oleh para petani dan masyarakat sebagai wadahb perjuangan untuk menuntut hak atas tanah mereka yang dirampas oleh beberapa perusahaan sawit, diantaranya PT. Bumi Flora dan PT. Dewi Kencana. Termasuk beberapa diantaranya berkonflik dengan PT. Medco, khususnya masyarakat yang berada di Kecamatan Indra Makmur.
Tengku Muda Wali, salah satu pengurus AMMK mengatakan pendidikan ini diselenggarakan agar kapasitas pengetahuan masyarakat dan petani dapat bertambah, khususnya mengenai persoalan hukum dan hak-hak masyarakat atas tanah yang ternyata telah dijamin oleh konstitusi.
“Kita ingin bagaimana masyarakat mendapatkan materi reforma agraria agar mereka lebih berani memperjuangkan haknya, dan sadar bahwa konstitusi negara kita ternyata telah menjamin hak warga negara atas tanah.” terang Muda Wali.
“Selama ini masyarakat telah berulangkali memperjuangkan dan menuntut hak mereka, namun tidak pernah direspon oleh pemerintah, dan bahkan ada yang takut juga karna tidak tahu hak mereka atas tanah,” lanjutnya.
“Dengan adanya pendidikan ini, para peserta dan termasuk saya sendiri melihat ternyata ada celah bagi masyarakat dalam memperjuangkan hak atas tanahnya,” ucap Tengku Muda Wali dengan optimis.
Pendidikan yang berlangsung selama tiga hari tersebut diisi dengan materi-materi seputar reforma agraria dan hak atas tanah. Mulai dari sejarah perjuangan reforma agraria di Indonesia, hak-hak masyarakat atas tanah, penguatan organisasi hingga materi-materi taktis bagaimana melakukan advokasi kebijakan dan hak atas tanah.
Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA saat menyampaikan materi menegaskan bahwa masyarakat sejatinya telah dijamin hak-hak mereka atas tanah oleh konstitusi. Namun sayanngya, kata Benni hal tersebut tidak pernah diinformasikan kepada masyarakat. Akhirnya masyarakat tidak mengetahui hak-hak mereka atas tanah dan sumber-sumber agraria yang telah dijamin konstitusi.
![4](http://www.kpa.or.id/image/2024/06/4-scaled.jpg)
Ironisnya lagi kata Benni, selama ini banyak UU dan peraturan digunakan oleh pemerintah untuk menggusur dan mengusir masyarakat dari tanah mereka.
“Jadi perjuangan kita adalah perjuangan menuntut hak kita yang telah dijamin oleh konstitusi, khususnya mengenai tanah dan kekayaan agraria lainnya,” Benni menegaskan.
Namun yang paling penting bagi Benni adalah bagaimana masyarakat terus meningkatkan kapasitas dan memperkuat konsolidasi agar terbangun kekuatan organisasi rakyat yang mampu mendesak pemerintah menjalankan reforma agraria.
“Dengan pendidikan ini, dengan membangun jejaring adalah cara untuk terus membangun konsolidasi dan memperkuat diri kita,” ujar Benni.
Benni menegaskan bahwa tidak akan ada perubahan jika tidak ada desakan yang kuat dari akar rumput. Sebab betapapun bagusnya kebijakan, jika tidak ada desakan yang kuat dari rakyat, perubahan tidak akan terjadi.
“Inilah yang menjadi prinsip dan pokok dari apa yang disebut reforma agraria atas inisiatif rakyat, yaitu rakyat yang terorganisir mendesak pemerintah untuk segera menjalankan tanggung jawab mereka mengakui hak rakyat atas tanah,” tutupnya.
Sanusi Syarif, dari YRBI mengatakan, selama ini di Aceh sudah memilik hukum adat mengenai pertanahan, namun sayangnya belum dimaksimalkan sehingga tidak berhasil diimplementasikan. Hal ini kata Sanusi akibat pemerintah tidak pernah serius mengimplementasikan dan mensosialisasikan sehingga masyarakat tidak mengetahui hal tersebut.
“Semoga dengan pendidikan ini, wawasan kita semakin terbuka bahwa di Aceh telah ada hukum adat yang menjamin hak-hak masyarakat atas tanah,” ujarnya.
Muhammad, salah satu peserta pendidikan yang berasal dari Desa Alue Kacang, Gampong Jambu Reuhat mengatakan dengan mengikuti pendidikan ini, wawasan ia tentang agraria dan pertanahan semakin meningkat sehingga menambah semangat untuk meneruskan perjuangan masyarakat menuntut hak mereka atas tanah.
Sama halnya dengan Yessi yang berasal dari Gampong Alue Merah, Kecamatan Indra Makmur. Baginya, pendidikan ini memberikan banyak muatan yang positif ke masyarakat khususnya yang terkait dengan isu agraria dan lingkungan.
![Whatsapp Image 2024 06 14 At 11 36 16 C53054a1](http://www.kpa.or.id/image/2024/06/whatsapp-image-2024-06-14-at-11-36-16-c53054a1-scaled.jpg)
“Saya berharap ilmu yang sudah dikasih sejak hari pertama bisa diserap oleh semua peserta, dan kesepakatan yang telah dibuat diakhir pendidikan bisa ditindaklanjuti agar kita sesama petani ini bisa saling memperkuat,” Yessi berharap.
Perjuangan yang dilakukan oleh AMMK sebenarnya bukanlah hal baru. Bahkan mereka telah berjuang dan mengorganisir diri sejak PT. Bumi Flora masuk merampas tanah masyarakat pada awal 1990-an. Saat itu, masyarakat di Jambu Reuhat membangun organisasi yang mereka beri nama Berdikari. Selanjutnya, pada tahun 2005, masyarakat kembali melanjutkan perjuangan mereka dengan membangun organisasi dengan nama Forjerat. Sayangnya, perjuangan mereka selalu terbentur dengan persoalan politik di Aceh yang tidak menentu pada saat itu.
Saat ini mereka kembali melanjutkan perjuangan dengan mendirikan AMMK, organisasi yang menghimpun kelompok tani yang lebih luas lagi. Mereka memanfaatkan momentum HGU PT. Bumi Flora yang telah habis masa berlakunya. Beberapa petani pun telah melakukan reklaiming di tanah-tanah klaim HGU yang ditelantarkan oleh pihak perusahaan. Pasca pendidikan ini, AMMK bersama YRBI akan melakukan konsolidasi antar desa untuk semakin memperkuat konsolidasi diantara petani.