Pemerintah sepatutnya mengkaji ulang kebijakan bagi-bagi izin usaha tambang untuk organisasi keagamaan. Sebab rencana ini berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
Pembagian IUP ini bermula ketika Presiden Jokowi meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi pada Januari 2022.
Keppres ini, memberikan mandat kepada Bahlil mengisi posisi ketua satgas yang salah satu tugasnya evaluasi izin tambang, hak guna usaha, dan konsesi kawasan hutan. Juga, membuka peluang memberikan fasilitas kemudahan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain untuk mendapatkan lahan.
Jokowi kembali mengeluarkan Perpres Nomor 70/2023 tentang pengalokasian lahan bagi penataan investasi pada Oktober 2023. Melalui regulasi ini, satgas yang dipimpin Bahlil kembali dapat tugas mencabut izin tambang, perkebunan, dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi dan lain-lain.
Hingga kini, satgas telah mencabut 1.118 IUP dan 15 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPKH). Izin-izin ini merupakan bagian dari 2.078 izin usaha pertambangan, 192 IPKH, dan 34.448 hektar HGU perkebunan yang ditelantarkan. Dewi bilang, seharusnya pencabutan IUP tersebut dijadikan momentum pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria
Patut dicermati, bahwa sektor tambang merupakan salah satu penyebab konflik agraria tertinggi di Indonesia. Sepanjang tahun 2023, KPA mencatat sektor tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 127.525 hektar, dan berdampak pada 48.622 kepala keluarga di 57 desa.
Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan ini cenderung bermuatan politis, terkait upaya pemerintah untuk melunaskan utang politik pada Pemilu 2024. Selain itu, argumentasi pemerintah memberikan izin tambang kepada ormas keagamaan karna jasa mereka dalam melawan penjahan cenderung mengada-ada. Memang benar, ormas keagamaan punya andil dan kontribusi dalam perjuangan kemerdekaan. Namun patut dicatat, bahwa petani, masyarakat adat dan kelompok masyarakat pedesaan lainnya juga punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan. Lalu mengapa mereka tidak menjadi prioritas?
Alih-alih mendapatkan apresiasi, dibanyak tempat para petani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainnya masih berjuang mempertahankan tanah mereka dari ancaman penggusuran dan perampasan tanah.
Keistimewaan yang diberikan pemerintah terhadap ormas keagamaan bukan kali ini saja. Kita masih ingat beberapa tahun lalu pemerintah juga memberikan tanah kepada ormas keagamaan melalui program tanah untuk rakyat.
Hal ini sangat ironis jika melihat bagaimana progres penyelesaian konflik dan redistribusi tanah untuk rakyat. Selama 10 tahun terakhir, penyelesaian konflik agraria dan redistirbusi tanah kepada masyarakat berjalan ditempa. Ini jadi gambaran sebenarnya ke mana keberpihakan pemerintahan saat ini.
Berikut catatan KPA mengapa bagi-bagi izin tambang bagi ormas patut dikaji ulang dan dicabut:
Pertama, bagi-bagi izin tambang kepada ormas keagamaan bukanlah sikap yang bijak, dan cenderung politis. Ada indikasi bahwa kebijakan ini upaya pemerintah untuk melunaskan utang politik terkait Pemilu 2024.
Kedua, Perpres No.86/2018 tentang Reforma Agraria menyebutkan bahwa subjek (penerima manfaat) reforma agraria adalah orang perorangan, kelompok masyarakat dengan kepemilikan nersama dan badan hukum.
Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan dengan pendekatan kelembagaan bukanlah cara yang tepat. Penting pula untuk dicatat, bahwa kelompok yang harusnya diprioritaskan terlebih dahulu adalah petani tidak bertanah (buruh tani), petani kecil (gurem), petani penggarap, nelayan tradisional, masyarakat miskin, masyarakat adat dan masyarakat setempat yang menggantungkan hidupnya pada kebudayaan agraris. Merekalah yang paling berhak. miskin seperti yang telah dimandatkan dalam UUPA dan Perpres RA,
Ketiga, bagi-bagi izin usaha tambang kepada ormas keagamaan melukai suasana batin para petani, nelayan, masyarakat adat, dan masyarakat agraris yang telah puluhan tahun berjuang mencari keadilan agraria, menuntut penyelesaian konflik. Sudah tidak terhitung jumlah mereka yang menjadi korban kriminalisasi dan bahkan kehilangan nyawa di wilayah-wilayah konflik agraria akibat mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka.
Keempat, bagi-bagi izin usaha tambang kepada ormas keagamaan sangat ironis. Sebab hal ini dilakukan ditengah kemandegan realisasi redistribusi tanah dan pelepasan kawasan hutan oleh pemerintah kepada subyek prioritas RA yang telah diusulkan oleh ratusan ribu keluarga petani dan komunitas adat.
![15622764 705805866264457 2181926076412165802 N](http://www.kpa.or.id/image/2024/06/15622764-705805866264457-2181926076412165802-n.jpg)
Kelima, alasan pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan karna jasa mereka dalam melawan penjajahan terlalu berlebihan. Sebab bukan mereka saja yang berjasa. Petani, masyarakat adat, nelayan dan masyarakat agraris lainnya juga berjasa besar melawan kolonialisme. Namun tidak pernah diprioritaskan hak atas tanah mereka. Bahkan hingga kini masih masih berjuang menghadapi ancaman perampasan tanah.
Keenam, bagi-bagi izin tambang kepada ormas keagamaan akan memperluas dan meningkatkan skala konflik agraria, sebab sektor tambang menjadi salah satu penyebab tertinggi konflik agraria selama ini. Bahkan kebijakan ini akan menyebabkan konflik horizontal diantara masyarakat.
Ketujuh, sudah selayaknya ormas keagamaan menolak kebijakan bagi-bagi izin tambang. Organisasi keagamaan justru harusnya menjadikan agenda reforma agraria dan ha katas tanah bagi rakyat menjadi agenda perjuangan organisasi. Bahkan ormas keagamaan sepetutnya mengeluarkan fatwa yang menyarankan Presiden segera mengatasi ketimpangan dan konflik agraria menjalankan Reforma Agraria bagi keadilan, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat agraris, Jangan sampai, kebijakan tawaran konsesi lahan tersebut menjadi kontraproduktif dengan agenda-agenda perjuangan kita bersama.
Kedelapan, Presiden di masa transisi ini seharusnya menghentikan pemberian dan penerbitan IUP tambang. Kemudian melakukan evaluasi menyeluruh terhadap IUP-IUP bermasalah.
*) Catatan redaksi