Cianjur (kpa.or.id) – Badan Bank Tanah telah berulang kali mengancam akan menggusur tanah garapan Petani Batulawang, Cianjur. Padahal tanah garapan tersebut sudah menjadi salah satu prioritas penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah. Hal ini diungkapkan Dani, Ketua Organisasi Tani Lokal (OTL) Batulawang, Pemersatu Petani Cianjur (PPC) dalam konsolidasi internal yang diselenggarakan Minggu, (23/6). Konsolidasi ini untuk memperkuat soliditas diantara anggota organisasi dalam menghadapi ancaman penggusuran dari Bank Tanah.
“Ancaman ini bukan lah upaya perampasan tanah yang pertama kali kita alami,” tutur Dani, Ketua OTL Batulawang.
“Ke depan, bukan tidak mungkin Badan Bank Tanah membawa serta aparat gabungan untuk mempercepat perampasan tanah, seperti yang banyak terjadi di wilayah lain,” tambah Dani.
Darwis, petani sekaligus sekretaris OTL Batulawang, menguraikan upaya perampasan tanah baru oleh Negara, menggunakan Bank Tanah sebagai alatnya untuk mempercepat pengalihan tanah yang dirampas dari petani untuk diserahkan kepada mereka yang berkuasa.
“Kalau di Batulawang, untuk perpanjangan HGU PT Maskapai Perkebunan Moelya (MPM), Densus 88. Ada TORA, tetapi belum bisa kita pastikan juga apakah tanah tersebut untuk kita atau tiba-tiba ke orang lain,” tambah Darwis.
“Strategi Bank Tanah yang membawa serta preman PT MPM atau Warkamsih harus menjadi perhatian kita bersama, sebab mereka telah berjaga di posko mereka. Mereka sudah lebih waspada, karena kemarin kita melawan, setelah mendiamkan aksi pengambilan titik koordinat di atas lahan kita selama hampir sebulan,” tegas Darwis.
Terdapat pula informasi yang disebarkan Warkamsih, bila petani yang telah menghentikan proses pemetaan yang telah dilakukan oleh Bank Tanah pada Jumat (21/6/2024) lalu telah masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang).
Warkamsih yang dimaksud adalah warga sekitar yang sengaja dibayar oleh pihak perkebunan untuk mengintimidasi petani penggarap. Infonya, pembentukan ini atas saran Densus 88. Kelompok tersebut merupakan penduduk sekitar yang berada di luar keanggotaan OTL Batulawang. Mereka diorganisir sebagai kelompok tandingan untuk mengacaukan perjuangan petani Batulawang yang sedang mengusulkan proses penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
Padahal saat itu, tanah yang telah diusulkan oleh petani akan segera memasuki tahap penyelesaian konflik dan pengakuan hak. Namun pihak perkebunan dan orang suruhan mereka datang untuk mengacaukan situasi. Sebanyak delapan orang petani mengalami kriminalisasi saat menghadang upaya penggusuran dari PT. MPM bersama orang suruhannya.