Siaran Pers Konsorsium Pembaruan Agraria
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jadwal berikut tema debat antar kandidat calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang akan diselenggarakan dalam lima kali putaran sepanjang Desember 2023 hingga Februari 2024. Ajang debat ini menjadi kesempatan para kandidat untuk menunjukkan kemampuannya masing-masing dalam adu politik gagasan dan solusi bagi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Tahap debat pilpres ini merupakan kesempatan pula bagi masyarakat untuk mengetahui dan menilai gagasan dan rencana para kandidat calon pemimpin negara.
Debat pertama akan diselenggarakan pada Selasa, (12/12) dengan tema “Pemerintahan, hukum, HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik dan kerukunan warga”. Debat keempat (4/2/2024) dengan tema; energi, SDA, pangan, karbon, lingkungan hidup, agraria dan masyarakat adat akan berkaitan langsung dengan agenda Reforma Agraria. Meski demikian ada cross-cutting issue terkait Reforma Agraria, khususnya di tema debat ketiga seperti; ekonomi (kerakyatan), kesejahteraan sosial, investasi, APBN, keuangan dan infrastruktur. Sebab topik-topik tersebut menjadi bagian penyebab problem agraria struktural di Indonesia.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah membaca dan mempelajari visi-misi masing-masing kandidat di bidang Reforma Agraria, salah satunya terkait penyelesaian konflik agraria dan perlindungan serta pemenuhan hak rakyat atas tanah yang berkaitan erat pula dengan isu penegakan hukum dan HAM.
Sebagaimana kita saksikan selama kurun waktu 9 (sembilan) tahun terakhir telah terjadi kemunduran agraria dimana kita berada dalam situasi ketimpangan penguasaan tanah yang tajam dan sistemik, dimana segelintir kelompok sebanyak 1 % (pengusaha, badan usaha) menguasai 68 % kekayaan asset nasional berupa tanah/asset tanah. Kita seperti kembali ke era kolonial, dimana klaim-klaim sephak oleh Negara atas tanah atau yang dikenal azas domienverklaring semakin menguat dan merjalela.
Sebuah ironi, sebab visi dan misi konstitusionalisme agraria yang telah diukir oleh para pendiri dan pemikir bangsa tidak dijalankan secara penuh dan konsekwen, bahkan dikhianati berkali-kali oleh kekuasaan demi kekuasaan. Ketika Orde Baru memimpin dan UUPA dipetieskan secara politik, ragam UU sektoral dan liberal terkait pengaturan agraria dan sumbedaya alam dilahirkan. Terbitnya UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Penanaman Modal Asing dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri di masa ORBA mendominasi pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia oleh penyelenggara pemrintahan. Terjadi pergeseran orientasi politik agraria dari UUPA yang populis, ke UU sektoral yang liberal dan kapitalistik. Akibatnya, azas domeinverklaring –Negaraisasi Tanah-Hutan– dan kemegahan asing di Tanah-Air yang telah ditutup rapat oleh UUPA, justru dibuka kembali pintunya lebar-lebar melalui penerbitan UU Penanaman Modal Asing. Sementara UU Pokok Kehutanan melakukan penunjukkan dan penetapan kawasan hutan secara sepihak, tertutup, penuh manipulasi dan korupsi yang menyebabkan desa-desa masuk dalam klaim Negara atas nama kawasan hutan.
Upaya pemulihan hak-hak rakyat pasca kemerdekaan yang menjadi cita-cita Konstitusi dan UUPA praktis menguap. Demikianlah, “keterlanjuran” politik agraria liberal-kapitalistik semacam ini ternyata diterus-teruskan hingga hingga masa Reformasi saat ini.
Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) adalah wujud nyata dan terbaru penyelewengan penyelenggara Negara secara kolektif, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif terhadap konstitusionalisme agraria, yang telah susah payah dibangun para pendiri-pemikir bangsa. UUCK mendorong satu tatanan ekonomi dan politik neoliberal yang berorientasi kuat memfasilitasi para pemilik modal, menghasilkan kemudahan-kemudahan berbisnis melalui cara-cara baru perampasan tanah rakyat atas nama proyek-proyek pembangunan dan investasi (PSN, KEK, KSPN, Bank Tanah, HPL, forest amnesty, food estate, IKN, dll).
Sebaliknya, UU ini menempatkan rakyat utamanya kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan di pedesaan dan masyarakat miskin di perkotaan sebatas obyek pembangunan. Tidak ada posisi dan peran strategis rakyat di dalam proses-proses pengambilan keputusan seperti perumusan UU dan persetujuan rencana serta model pembangunan.
Ternyata, pengalaman pahit ketimpangan agraria dan kemiskinan akibat tiga setengah abad kolaborasi kolonialisme dan feodalisme, serta 32 tahun ORBA ternyata tidak menghasilkan efek jera bagi pemegang kekuasaan di masa reformasi sekarang ini. Justru yang terjadi adalah para elit penguasa, baik eksekutif maupun legislatif terus menerus memproduksi peraturan perundang-undangan dan membentuk lembaga-lembaga baru yang justru mengakibatkan ketimpangan dan penderitaan rakyat semakin parah dan berkepanjangan.
Itulah konteks legacy agraria yang buruk, yang menjadi pekerjaan rumah besar para Presiden dan DPR RI hasil Pemilu 2024. Menakar rencana Reforma Agraria yang dijanjikan para kandidat capres dan capares, terdapat lima catatan pokok KPA terhadap visi-misi para paslon, sbb.:
Pertama, para kandidat belum menempatkan Reforma Agraria sebagai landasan utama pembangunan nasional di bidang agraria dan di pedesaan.
Agraria mencakup bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dan di atas tanah. Artinya, agraria bermakna luas terkait dengan urusan-urusan pembangunan di bidang pertanahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk masalah pangan.
Padahal cita-cita keadilan dan kedaulatan agraria mewujud dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Lebih lanjut, cita-cita agraria itu diterjemahkan lebih jauh melalui UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi setelah UUD 1945. UUPA mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seharusnya para kandidat memiliki visi-misi untuk mengembalikan agenda Reforma Agraria sesuai aspirasi rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial dan kedaulatan bangsa atas sumber-sumber agraria. Secara filosofi dan ideologi, UUPA mencita-citakan tanah dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, utamanya bagi kaum tani, buruh tani, penggarap dan masyarakat kecil yang selama ini dimarjinalkan secara sistemik dan terstruktur di dalam sistem ekonomi-politik agraria nasional.
Pekerjaan rumah besar Reforma Agraria adalah mengatasi ketimpangan struktur agraria melalui jalan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah kepada Rakyat, sehingga terjadi transformasi sosial di pedesaan. Dengan begitu, akan terjalin relasi baru antara pertanian, perikanan, perkebunan rakyat, dengan industri yang saling menyokong dan relasi desa-kota yang semakin menguatkan. Sebab itu, arah pelaksanaan reforma agraria harus kembali pada cita-cita kemerdekaan dan amanat konstitusi untuk melepaskan Bangsa ini dari belenggu kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi akibat orientasi pembangunan yang liberal atas tanah dan sumber-sumber agraria.
Kedua, Para kandidat belum menempatkan Reforma Agraria sebagai peta jalan penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemulihan Hak atas Tanah bagi Petani.
Hak atas tanah untuk kaum petani dan rakyat kecil lainnya belum menjadi bagian dari pemenuhan dan pemulihan HAM. Padahal krisis agraria di Indonesia sarat dengan konflik agraria, perampasan tanah masyarakat, penggusuran dan jatuhnya korban di wilayah-wilayah konflik agraria.
Sepanjang 2015-2022, KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.710 letusan konflik agraria di berbagai wilayah di Indonesia dengan luasan terdampak mencapai 5,88 juta hektar. Letusan konflik tersebut didominasi oleh sektor investasi dan bisnis yakni perkebunan sebanyak 1.023 letusan konflik, property (625), infrastruktur (477), kehutanan (196), tambang (180), pertanian/agribisnis (154), pesisir dan pulau-pulau kecil (74), fasilitas militer (40).
Sejalan dengan konflik agraria, terjadi ragam kekerasan yang harus dialami petani, masyarakat adat, aktivis. Sedikitnya 69 jiwa harus kehilangan nyawa, 38 ditembak, 842 dianiaya dan 1.615 orang diikriminalisasi pada periode yang sama.
Inilah akibat sistem ekonomi dan politik yang tidak beradilan, dikriminatif dan berorientasi meminggirkan kelompok masyarakat yang selama ini dimarginalkan secara sistemik dalam sistem agraria nasional. Hukum menjadi alat legitimas aparat untuk merampas dan mengkriminalkan petani yang menggarap tanah, ketimbang korporasi yang menelantarkan konsesi, memanipulasi konsesi, merusak alam dan melakukan deforestasi hutan demi bisnis sawit.
Para kandidat harusnya merubah paradigma ekonomi-politik agraria nasional sehingga hak rakyat atas tanah sebagai hak konstitusional dapat dijamin sepenuhnya oleh Negara.
Ketiga, Reforma Agraria yang diusung para kandidat masih memandang bahwa urusan Reforma Agraria sebatas urusan tanah semata, ditempatkan sebagai program yang terpisah (parsial) dari kebijakan di bidang pangan, pertanian dan kesejahteraan petani.
Padahal, pandemi Covid-19 telah membuka kotak pandora tentang betapa rentannya bangsa ini terhadap ancaman krisis pangan. Begitu kebijakan lockdown diberlakukan secara global, Indonesia yang masih menjalankan kebijakan importasi pangan mengalami kepanikan krisis pangan. Ironis sebab Indonesia merupakan bangsa agraris yang sesungguhnya diberkahi tanah dan kekayaan alam yang melimpah.
Situasi ini merupakan buah dari kebijakan pembangunan di bidang agraria dan pedesaan yang bersifat eksploitatif dan lapar tanah untuk kepentingan badan-badan usaha besar. Terjadi arus cepat konversi tanah pertanian ke fungsi-fungsi non-pertanian. Banyak tanah pertanian rakyat tergusur dan dikonversi menjadi perkebunan sawit, bangunan infrastruktur, properti, food estate, destinasi pariwisata premium dan pusat-pusat industri. Masyarakat agraris di pedesaan kehilangan tanah yang menjadi alat produksinya yang utama.
Data BPS menunjukan selama periode 2014-2019 telah terjadi penyusuan lahan pertanian (sawah) hingga 1 (satu) juta hektar akibat konversi lahan. Hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I menunjukan petani gurem (peasants, small farmers), yakni petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar semakin bertambah menjadi 16,89 juta rumah tangga petani dari 14,25 juta di tahun 2013.
Guremisasi petani secara nasional menunjukkan bahwa agenda Reforma Agraria gagal dilaksanakan, sebab dijalankan secara parsial dan sempit, bukan untuk mengangkat derajat hidup petani agar keluar dari garis gurem dan kemiskinan.
Jika para kandidat bersungguh-sungguh ingin mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan, maka perombakan penguasaan tanah melalui redistribusi tanah bagi petani gurem dan buruh tani seharusnya menjadi prioritas utama. Dengan kebijakan seperti itu, dibarengi dengan transformasi pertanian rakyat di bidang teknologi, modal, infrastruktur, dll., maka akan lahir lumbung-lumbung pangan nasional yang bertumpu pada pertanian rakyat yang maju, yang dikelola oleh petani secara kolektif dan mandiri dalam bentuk badan-badan usaha milik petani (koperasi), bukan usaha pertanian pangan yang bertumpu pada corporated-based agriculture seperti food estate atau importasi pangan.
Keempat, pelaksanaan Reforma Agraria mustahil jika dilakukan tanpa kelembagaan pelaksana yang otoritatif dan bersifat lintas sektor, yang langsung dipimpin oleh Presiden.
Baru-baru ini Presiden menandatangi revisi Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Perpres ini merupakan revisi terhadap Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria. Sayangnya apa yang menjadi aspirasi rakyat tidak didengar, salah satunya soal kelembagaan pelaksana Reforma Agraria, yang lagi-lagi kembali dipimpin setingkat menteri. Padahal, aspirasi Gerakan Reforma Agraria pada tahun 2019 adalah perubahan kelembagaan dimana Presiden harus memimpin langsung pelaksanaan RA, dan Presiden pada saat itu menyetujuinya.
Pengalaman selama hampir satu dekade kebijakan Reforma Agraria menyimpulkan bahwa pelaksanaan reforma agraria yang hanya dipimpin setingkat menko dan menteri telah menyebabkan tujuang-tujuan Reforma Agraria tidak dapat dieksekusi, bahkan terjadi pembelokkan Reforma Agraria sekedar pensertifikatan tanah. Ego-sektoral antar Kementerian/Lembaga gagal dikikis oleh selevel menko sekalipun. Sementera perbaikan ketimpangan penguasaan tanah dan penyelesaian konflik agraria menuntut kerjasama efektif antar sektor kementerian yang berkaitan dengan pertanahan, perkebunan, kehutanan, pertanian, pertambangan, pesisir, perairan, termasuk kementerian yang terkait pedesaan, BUMN, keuangan, hingga dukungan kepolisian dan TNI. Idealnya, pelaksanaan reforma agraria secara nasional haruslah dipimpin langsung oleh Presiden dengan membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA).
Kelima, rencana Reforma Agraria dalam visi-misi para kandidat tidak konsekuen dan konsisten, masih lip-service dan kontradiktif dengan rencana pembangunan lainnya.
Jika ditelaah dan dianalisis lebih dalam, agenda Reforma Agraria para kandidat masih seperti “gula-gula” atau sekedar tempelan program untuk menarik pemilih utamanya dari kaum tani dan gerakan sosial, sebab di dalam rumusan visi-misi banyak agenda-agenda pembangunan yang kontra-produktif bagi pelaksanaan Reforma Agraria itu sendiri.
Beberapa catatan mengenai janji dan kebijakan yang kami nilai kontra-Reforma Agraria dari pasangan calon 1, 2 dan 3, diantaranya: 1) Masih kuat menempatkan program sertifikasi tanah (legalisasi asset) sebagai agenda Reforma Agraria, bukan koreksi ketimpangan dan penuntasan konflik agraria; 2) Masih menjalankan dan menerapkan kebijakan food estate dan contract farming; 2) Melanjutkan pembangunan IKN dimana salah satunya kebijakan sangat kontroversial dan inkonstitusional dengan mendorong 190 tahun HGU dan 160 tahun HGB, yang bertentangan dengan UUPA 1960 dan putusan MK; 3) Melanjutkan program Bank Tanah sebagai mesin konsolidasi tanah untuk kepentingan investor dan menyelewengkan agenda RA; bertentangan dengan agenda Reforma Agraria; 4) Melanggengkan domien verklaring atas tanah dan kehutanan; 5) Tidak ada agenda pembaruan hukum yang fundamental terhadap UU Cipta Kerja (dan PP/Perpres turunannya), yang berorientasi pada kepentingan para pemilik modal di bidang agraria dan SDA.
Atas dasar itu, mengingat situasi akut ketimpangan, konflik agraria, kemiskinan struktural, krisis pangan dan regenerasi petani, kami mengingatkan kembali bahwa Presiden-Wakil Presiden dan DPR terpilih ke depan penting menempatkan agenda Reforma Agraria sebagai landasan utama pembangunan nasional. Memastikan pengalokasian tanah dan kekayaan alam yang senafas dengan cita-cita kemerdekaan, Konstitusi dan UUPA menjadi komitmen Negara, dalam hal ini pemegang kekuasaan untuk menghadirkan keadilan sosial, dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, terdapat empat agenda pembaruan agraria yang harus dijalankan:
A. Meluruskan dan mengoreksi paradigma kebijakan praktik reforma agraria di nasional
- Meluruskan paradigma, konsep, kebijakan dan praktik menyimpang Reforma Agraria yang selama ini diklaim sudah dijalankan, dari konsepsi ekonomi liberal “asset reform atau/plus akses reform” menjadi land reform yang disempurnakan, yang berarti proses pemenuhan, pemulihan dan pengakuan hak atas tanah bagi rakyat secara penuh dilakukan bersamaan dan terintegrasi dengan proses penguatan basis ekonomi, produksi, distribusi dan konsumsi rakyat sebagai satu kesatuan operasi reforma agraria yang sejati. Capaian akhir dari reforma agraria adalah transformasi sosial di pedesaan dan perkotaan yang berkeadilan sosial-ekologis dan mensehjahterakan.
- Memperbaiki kebijakan dengan menghapus dualism rezim pertanahan, pesisir dan kelautan (hutan dan non-hutan), menjadi sistem pertanahan nasional tunggal sebagaimana prinsip UUPA. Hal ini penting untuk menghilangkan sektoralisme di dalam pemerintahan itu sendiri.
- Menyusun dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria dan PP Pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan usulan Gerakan RA, sebagai landasan terobosan hukum pelaksanaan RA secara nasional, utuh dan sistemik untuk sebesar-besarnya kepentingan petani, buruh, tani, masyarakat adat, nelayan, rakyat miskin tak bertanah dan kelompok marjinal di pedesaan dan perkotaan. Sekaligus sebagai aturan yang melindungi masyarakat dari ancaman perampasan tanah dan penggusuran serta kepentingan bisnis lainnya sebagai akibat dari berlakunya UU Cipta Kerja dan regulasi-regulasi turunannya.
- Mengevaluasi dan mencabut perizinan SDA dan hak atas tanah berupa HGU/HGB/Hak Pakai atau pun bentuk baru hak pengelolaan (HPL) yang terbukti menimbulkan konflik agraria, ketimpangan, kemiskinan dan kerusakan ekologis.
- Menjalankan mandat TAP MPR XI/2001 terutama melakukan evaluasi, koreksi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait agraria-SDA yang senafas dengan UUPA dan Konstitusi; dan
- Mengubah perspektif dan tolak ukur pemerintah terhadap hasil pembangunan yang sangat kuantitatif menjadi kualitatif sesuai dengan nilai dan prinsip sosial-ekologis masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, perempuan dan kaum marjinal di perkotaan.
B. Reformasi kelembagaan di bidang agraria-sumber daya alam
- Menata-ulang kelembagaan yang berwenang untuk mengatur masalah Agraria-SDA dengan menyatukan lembaga planologi kehutanan, informasi geo spasial, tata ruang, hak atas tanah baik di darat maupun laut dalam satu kelembagaan di Kementerian ATR/BPN. Sementara Kementerian KLHK berwenang penuh untuk menjaga fungsi-fungsi ekologis kehutanan dan daya dukung lingkungan.
- Membentuk BORA yang dipimpin langsung oleh Presiden sebagai pelaksana RA secara nasional dan penyusun kebijakan agraria-SDA, Lembaga ini penting untuk memastikan bahwa RA dijalankan secara cepat, tepat, untuk menciptakan kesejahteraan bagi petani, masyarakat adat, nelayan, buruh, perempuan dan masyarakat miskin.
- Mengharmonisasi kelembagan dan program pada Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, Kementeria KKP, Kemenkop, BUMN sehingga selaras dalam pelaksaan dan pengembangan reforma agraria
- Mengembalikan independensi KPK dengan membebaskan dari pengaruh dan pelemahan oleh pemerintah, melalui revisi dan mengembalikan KPK ke Undang-Undang KPK; dan
- Mengembalikan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan tujuan awalnya sebagai penjaga konstitusi. Menghentikan praktik pelanggaran etik, korupsi, konflik kepentingan, intervensi oleh Pemerintah dan DPR, serta praktik-praktik yang merusak prinsip dan tujuan Mahkamah Konstitusi.
C. Reformasi sistem administasi tanah dan SDA untuk mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-SDA baik di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Membuat sistem pendaftaran tanah secara nasional dan pro-aktif sesuai mandat UUPA, tanpa dualisme pertanahan, serta menghapus pendekatan clear and clean.
- Membangun sistem keterbukaan informasi atas: Hak atas Tanah seperti HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Milik); Ijin lokasi dan ijin usaha seperti HTI dan IUP; serta hak pengelolaan (HPL).
- Melakukan koreksi menyeluruh atas klaim-klaim sepihak negara atas nama kawasan hutan atau hutan (milik) negara, melalui penataan batas ulang kehutanan untuk mengeluarkan puluhan ribu desa, perkampungan, wilayah adat, kebun masyarakat, persawahan, wilayah tambak masyarakat dan lumbung-lumbung pangan nasional milik rakyat;
- Memperkuat, melindungi dan menegaskan kadaster laut, pesisir dan kelautan, akses ke laut dan wilayah tangkap, perkampungan nelayan dan budaya bahari masyarakat sehingga hak-hak dasar masyarakat di sekitarnya terpenuhi.
D. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya di berbagai landscape agrarian (daratan, tanah, wilayah adat, perairan/laut, pesisirpulau kecil).
- Mengkoreksi dan mencabut pasal-pasal yang digunakan oleh pengusaha, pemerintah dan penegak hukum untuk mengkriminalisasikan masyarakat, melanggar kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi UU Konservasi, UU P3H, UU Perkebunan, UU Minerba, UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, UU ITE dan UU KUHP;
- Mengevaluasi dan mereformasi TNI-POLRI agar tidak lagi menjadi penjaga perusahaan yang merepresi masyarakat yang mempertahankan dan memperjuangakan hak atas tanah. Mencabut UU ASN yang memperbolehkan TNI-POLRI memasuki lembaga publik dan bisnis. Termasuk menghentikan model-model perampasan tanah atas nama pembangunan fasilitas militer dan keamanan berkedok bisnis;
- Mengkoreksi RUU Konservasi untuk memastikan masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan dan masyarakat lain di sekitarnya tidak terdiskriminasi dan terusir dari wilayah dan tanahnya;
- Mengintegrasikan Standar Norma Pengaturan HAM tentang Tanah dan SDA ke dalam seluruh kebijakan dan aturan tentang Agraria dan SDA. Hal ini penting agar setiap kebijakan pemerintah selaras dengan upaya pengakuan dan perlindungan HAM di Indoensia; dan
- Memperkuat struktur dan kewenangan lembaga dan komisi negara seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Informasi Publik, Komisi Kejaksaan RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sehingga tercipta lembaga pelindung masyarakat yang bebas dari kontrol elit politik dan pemodal serta menjadi bagian dari pendukung pelaksanaan Reforma Agraria Sejati bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat dan sampaikan agar menjadi perhatian bagi masing-masing Kandidat yang akan maju dalam kontestasi politik elektoral 2024 nanti.
Jakarta, 11 Desember 2023
Konsorsium Pembaruan Agraria
Dewi Kartika,
Sekretaris Jendral
Kontak: +62 813-9447-5484