Petani dan Nelayan Berkolaborasi dengan Barter Produk Pangan
kompas.id
|
28 May 2020
|
Dilihat 140x
Pandemi telah memukul nelayan dan petani di pantura. Hasil panen pejuang pangan itu melimpah saat rantai pasok distribusi melemah. Namun, siapa sangka, barter antara produk sawah dan laut itu merupakan salah satu solusinya.
Menjelang petang, Jumat (22/5/2020), Rustoni (45) masih sibuk berkeliling dengan sepeda motor tiga roda di Desa Gebang Udik, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Nelayan tersebut sedang mengirim beras hasil panen petani Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, kepada nelayan lain.
Beras putih tanpa kutu itu merupakan ”balasan” petani setelah menerima hasil tangkapan nelayan setempat. Sebelumnya, Rustoni membeli hasil laut nelayan yang sulit terserap pasar. Pandemi Covid-19 menyebabkan distribusi nyaris mentok. Banyak pabrik perikanan, toko, dan hotel tutup.
Kalaupun ada yang mau menampung, harganya ditawar serendah-rendahnya. Rajungan yang merupakan produk ekspor, misalnya, hanya dihargai hingga Rp 20.000 per kilogram (kg). Padahal, dalam kondisi normal, harganya berkisar Rp 75.000-Rp 100.000 per kg. Selain tidak punya pilihan, nelayan juga terjerat utang sehingga harus menuruti harga tengkulak.
Rustoni pun membeli hasil tangkapan nelayan sedikit lebih tinggi dibandingkan harga pasaran. Rajungan, misalnya, dipatok Rp 25.000 per kg. Ada yang menjual lima ekor hingga puluhan kg rajungan dan teri jengki.
Ia menampung sekitar 50 kg ikan dari lebih kurang 25 nelayan. Dengan kulkas besarnya, Rustoni menyimpan hasil tangkapan nelayan. Beruntung, pemerintah memberikan subsidi listrik sehingga ia tidak mesti merogoh Rp 120.000 per bulan.
Hasil tangkapan nelayan tersebut lalu dibarter dengan 2,2 kuintal beras petani di Kertasemaya, berjarak lebih dari 67 kilometer dari Gebang. Transaksi tidak menggunakan uang kertas, elektronik, apalagi kartu kredit. Pertukaran berdasarkan kebutuhan. Nelayan perlu beras. Sebaliknya, petani butuh ikan sebagai lauk.
Beras itu lalu ditawarkan kepada nelayan yang sudah menjual hasil tangkapannya kepada Rustoni. Harganya Rp 10.000 per kg. Bagi nelayan yang ingin beli beras itu, meskipun tidak punya ikan untuk ditukar, harganya Rp 10.500 per kg.
Bahkan, nelayan bisa utang dulu tanpa bunga. Saat pandemi seperti sekarang, banyak warga yang harus menggadaikan barang berharganya demi menyambung hidup.
”Saya enggak dapat keuntungan,” ucap Rustoni yang juga anggota Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon ini.
Di pasaran, menurut dia, harga beras seperti panen petani Kertasemaya itu minimal Rp 11.000 per kg. Hingga kini, dari 2 kuintal beras hasil panen petani, tersisa 25 kg yang belum diedarkan. Bahkan, Rustoni bakal menyerap hasil tangkapan nelayan lagi.
Bagi Tarti (38), warga, sistem barter nelayan dan petani itu membuat dapurnya tetap ngepul meskipun suaminya, Rastim, sudah tidak melaut setengah bulan. ”Untung ada Pak Toni (Rustoni) yang beli rajungan kami. Kalau tidak, jual ke mana lagi? Bakul sudah enggak mau terima,” kata ibu dua anak ini.
Ia pun membeli 25 kg beras tersebut. Berbeda dengan di toko modern, ia hanya membayar uang muka kepada Rustoni Rp 62.500 atau sekitar 25 persen dari harga seluruhnya. Beras itu dapat memenuhi kebutuhan pangan enam anggota keluarga di rumahnya hingga 16 hari ke depan.
Zamzam (48), nelayan, mengatakan, saat ini masa panen rajungan. Ia, misalnya, berhasil membawa pulang 6 kuintal rajungan setelah melaut sepekan ke Lampung. Biasanya, jika tidak musim, ia hanya mendapat 2 kuintal. Masa paceklik rajungan mencapai tujuh bulan.
Namun, hasil melimpah itu tidak terserap. Rajungannya ditawar Rp 20.000 per kg atau Rp 12 juta untuk seluruhnya. Ia pun hanya meraup Rp 2 juta setelah dipotong biaya perbekalan sepekan di kapal sebesar Rp 10 juta.
”Bagian saya Rp 1 juta dan selebihnya untuk lima anak buah kapal. Itu pun saya masih rugi karena gardan kapal rusak dan harus diganti Rp 2 juta,” ungkapnya. Anjloknya harga rajungan, katanya, sempat dialami nelayan pada 2016, bersamaan dengan maraknya perompak.
Untung semuanya
Ketua Paguyuban Tani Tenajar Kertasemaya Aruzy mengatakan, sistem barter menjawab sulitnya hasil panen petani terserap. Saat ini, harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani setempat paling mahal Rp 4.400 per kg.
Padahal, harga pembelian pemerintah diatur Rp 5.250 per kg untuk GKG di tingkat penggilingan. ”Kalau barter dengan nelayan, nilai jual kami lebih dari Rp 5.000 per kg untuk GKG. Kami juga dapat protein dari ikan. Jadi, keuntungan ada di petani langsung, bukan pedagang,” kata Aruzy.
Ia bersama 10 petani mendapatkan 50 kg ikan teri jengki dari Rustoni dan nelayan lain. Bahkan ada petani yang menjual kembali ikan teri itu dengan harga Rp 20.000 per setengah kg. Lebih murah Rp 10.000 dibandingkan di pasaran.
Barter juga dilakukan oleh SNI Indramayu dengan petani jaringan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Beras 1 ton dari petani di Karawang, Jawa Barat, ditukar dengan produk ikan olahan, seperti 294 paket abon tongkol (setiap paket berisi 120 gram), ikan gesek layur 11,6 kg, dan ikan teri jengki 50 kg.
Sekretaris Jenderal SNI Budi Laksana mengatakan, pihaknya sudah membuat lumbung pangan nelayan di Desa Pabean Udik (Indramayu) dan Gebang Udik (Cirebon) serta menurut rencana di Gebang Kulon (Cirebon). Lumbung ini menampung hasil tangkapan nelayan yang tak terserap pasar untuk kemudian dibarter dengan beras petani.
”Dengan barter, ada rasa solidaritas antara petani dan nelayan untuk memecahkan masalahnya sendiri. Memang pemerintah berjanji menyerap hasil tangkapan nelayan, tetapi itu belum menyentuh seluruhnya,” katanya. Sistem barter itu pun menurut rencana bakal terus berlanjut.
Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, barter hanya salah satu bagian dari Gerakan Solidaritas Lumbung Agraria (Gesla) Atasi Covid-19. Aksi lain adalah donasi pangan dari petani, donasi publik untuk petani, serta aksi pangan sehat dan ekonomis.
Selain menghubungkan petani dan nelayan, gerakan ini juga memberikan bantuan kepada buruh dan warga rentan secara ekonomi di sejumlah kota. ”Ke depan, gerakan ini akan menjadi simpul badan usaha ekonomi milik petani, buruh, nelayan, perempuan, dan jaringan lebih luas untuk saling bantu secara mandiri menghadapi ancaman krisis pangan saat pandemi,” ujarnya.
Barter hasil panen petani dan nelayan mungkin konsep usang berabad-abad silam. Namun, gerakan ini menjawab masalah aktual hari ini, seperti mandeknya rantai distribusi, ketidakstabilan harga pangan, dan indikasi absennya pemerintah dalam menangani problem itu. Bukan tidak mungkin barter bakal berlanjut di tengah ketidakpastian akhir dari pandemi.
Artikel ini pertama kali tayang di halaman kompas.id pada tanggal 28 Mei 2020 dengan judul "Petani dan Nelayan Berkolaborasi dengan Barter Produk Pangan". Link dapat diakses di https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/05/28/petani-dan-nelayan-berkolaborasi-dengan-barter-produk-pangan.