LPRA Blongko: Kriminalisasi Berulang di Wilayah Prioritas Penyelesaian Konflik
Admin
|
15 May 2023
|
Dilihat 166x
Minahasa Selatan (kpa.or.id) – Kriminalisasi masih terus menerus dialami oleh petani yang memperjuangkan hak atas tanahnya, bahkan di lokasi yang telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
Terbaru, kriminalisasi menimpa anggota OTL Blongko, Serikat Petani Minahasa Selatan (SPMS) yang berkonflik dengan PT. Blongko. Empat orang petani anggota ditetapkan sebagai tersangka, dengan tuduhan merusak aset perusahaan. Mereka diantaranya Zakarias Andawari, Junever Purnama, Anwar. R. Tindatu, dan Yanselmu Manoy.
‘Tuduhan ini dilatari oleh penebangan beberapa pohon kelapa di sekitar sekolahan, karena sudah sangat tinggi, rentan rubuh dan membahayakan anak-anak dan guru yang beraktivitas di sekolah.’ tutur Esterlita, sekretaris OTL Blongko, SPMS.
Adapun lahan perkebunan seluas ± 74,52 hektar ini telah habis izin konsesinya pada 31 Desember 2008. Tetapi, setelah HGU habis, PT. Blongko melakukan transaksi dengan elite lokal, Joppie George Langie yang melaporkan petani SPMS.
‘Sekitar tahun 2011, terjadi transaksi antara pemilik PT. Blongko dan Joppie. Penjualan aset, tetapi tentu tanah tidak termasuk karena tanah bukan milik perusahaan, hanya HGU. Tetapi sampai saat ini, Joppie masih mengambil hasil kelapa, menganggap tanah perkebunan miliknya, dan mengintimidasi petani yang sedang mengusahakan lahan’ tutur Zakarias Andawari, penasehat di OTL Blongko.
Tentu petani tidak diam berpangku tangan menerima perlakuan tidak adil, dan menempuh berbagai strategi dalam memperjuangkan hak atas tanah. Termasuk, bertemu dengan Bupati Minahasa Selatan dan pihak Kepolisian Resort Minahasa Selatan.
‘Dalam pertemuan dengan Bupati Minsel, Bupati memberi atensi atas kriminalisasi petani ini. Termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang beberapa oknum, baik dari BPN maupun pemerintahan desa, yang dalam prosesnya menimbulkan kegaduhan’ tutur Simon Aling, KPA Wilayah Sulawesi Utara.
Terkait keempat petani yang dikriminalisasi, Kasat Reskrim memberikan kebijakan untuk tidak melakukan penangkapan dan penahanan. Keempat petani hanya perlu wajib lapor setiap minggunya.
‘Pertemuan dengan Polres juga memberi peluang kepada pelapor dan terlapor untuk menempuh restorasi justice yang akan difasilitasi Polres. Bupati juga seharusnya menjadi pihak yang turut menekan pencabutan laporan ini, karena laporan ini tidak memenuhi syarat formil dan materiil.’ tutur Riki, Staf Advokasi KPA membawahi Organisasi Bantuan Hukum KPA.
Strategi lain yang ditempuh oleh SPMS adalah mengisi dan meningkatkan pengetahuan hukum, melalui pendidikan hukum kritis bagi anggota SPMS.
‘Selain advokasi, kami juga melakukan penguatan organisasi melalui pendidikan hukum kritis. Pendidikan ini menjadi pegangan bagi kami dalam memperjuangkan hak atas tanah, terkhusus ketika berhadapan dengan masalah hukum. Kami tidak akan berhenti disini, tetapi terus memperjuangkan apa yang menjadi hak petani’ tutur Musa, Ketua SPMS.