Menuntun Jalan Sejati Reforma Agraria
Benni Wijaya
|
24 Sep 2022
|
Dilihat 542x
Hari tani yang diperingati pada tanggal 24 September merupakan hari kelahiran Undang-Undang No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sebuah kado istimewa yang diberikan Presiden Soekarno kepada kaum tani. Kelahirannya menandai berakhirnya Agrarische Wet 1870 (UU agraria kolonial) yang menjadi alat penghisapan pemerintah kolonial di bidang agraria. Kado tersebut semakin paripurna kala kelahiran UUPA ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional melalui Keputusan Presiden No.163/1963 tentang Hari Tani.
‘Bahwa tanggal 24 September, hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, merupakan hari kemenangan bagi Rakyat Tani Indonesia, dengan diletakannya dasar-dasar bagi penyelenggaraan Landreform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur”.
Bunyi konsideran Keppres Hari Tani di atas secara gamblang menjelaskan kait mengait antara semangat kelahiran UUPA dengan harapan kehidupan masa depan kaum tani yang terang gemilang. Dengan mengikis habis sisa-sisa feodalisme dan penghisapan manusia melalui penguasan tanah ala domein verklaring pemerintah kolonial Belanda. Melalui UUPA, para pendiri bangsa ini meletakkan fondasi penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang lebih berkeadilan agar mendatangkan kemakmuran secara kolektif bagi kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia melalui landreform (saat ini reforma agraria).
Sebagai Negara agraris, para pendiri bangsa ini menyadari betul bahwa kaum tani adalah sokoguru dari pembangunan. Tak pelak, proses penyusunan UU payung agraria nasional ini mencapai waktu 12 tahun, karna dijalankan dengan prinsip kehati-hatian. Sebab di dalamnya bergantung masa depan nasib pembangunan Indonesia yang bersendikan pada kehidupan agraris.
Setelah enam dekade berjalan, bagaimana situasi agraria dan kehidupan kaum tani di Negeri ini? Sudahkah keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan lebih dari setengah abad yang lalu itu terlaksana?
Data BPS mengatakan sebaliknya, dimana saat Indonesia telah mencapai puncak ketimpangan penguasaan tanah pertama kali terjadi sepanjang sejarah. Dimana 1 % kelompok orang kaya dan pengusaha menguasai hampir 68 % tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Di sektor industry perkebunan sawit, 25 perusahaan menguasai tanah hingga 16,3 juta hektar, 500 perusahaan hutan industry menguasai 30,7 juta hektar serta 37 juta hektar tanah dikuasai perusahaan tambang. Jauh berbanding dengan penguasaan tanah oleh kaum tani, dimana 15 juta petani hanya menguasai kurang dari 0,5 hektar. (BPS 2018)
Ketimpangan semacam itu telah melahirkan letusan konflik agraria berkepanjangan. Mengutip Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria, satu dekade terakhir (2012-2021) telah terjadi 3.537 letusan konflik agraria yang tersebar di seluruh tanah air. Sedikitnya 2.238 orang mengalami kriminalisasi, 1.122 orang mengalami penganiayaan, 149 tertembak dan 113 diantara tewas akibat penanganan konflik agraria yang masih mengedepankan pendekatan represif di lapangan.
Data BPS tahun 2019 juga mencatat jumlah petani di Indonesia saat ini hanya berjumlah 33,4 juta orang. Ironisnya, 30,4 juta atau 91% diantaranya sudah berusia di atas 40 tahun dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun. Sementara jumlah petani muda dengan rentang umur antara 20-39 hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta. Lebih miris lagi, dari 2017-2018 jumlah petani Angkatan muda tersebut mengalami penurunan mencapai 415.789 orang.
Data di atas menggambarkan bahwa dunia pertanian semakin ditinggalkan karena tidak bisa menjadi tumpuan kehidupan rakyat. Alih-alih menjadi sejahtera, para petani di banyak wilayah harus bertaruh nyawa mempertahankan ruang hidup dan tanah pertanian mereka dari ancaman penggusuran.
Janji Manis yang Terus Menguap
Reforma agraria adalah kewajiban konstitusi, sebab ia merupakan amanat dari cita-cita kemerdekaan nasional. Sebagai upaya untuk merombak ketimpangan penguasaan dan monopoli atas tanah akibat sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme yang telah berlangsung sekian lama.
Setelah tenggelam 32 tahun pada masa pemerintahan Rezim Orde Baru, Reformasi sebenarnya telah memberikan angin segar bagi momentum kebangkitan kembali agenda reforma agraria di Indonesia. Bahkan kebangkitan tersebut bersambut dengan lahirnya Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumberdaya Alam. Melalui ketetapan ini, MPR RI menugaskan Presiden dan DPR RI agar melakukan pengkajian ulang untuk menata kembali tumpang-tindih regulasi yang terjadi di bidang agraria, serta menyusun kembali arah kebijakan agraria sesuai dengan konstitusi dan UUPA 1960.
Tidak bisa dipungkiri, selama masa reformasi, reforma agraria mendapat tempat kembali dalam ruang-ruang kebijakan pemerintahan, termasuk pada era pemerintah Presiden Joko Widodo. Agenda bangsa yang sangat tabu dibicarakan selama rezim pemerintahan Orba.
Pada masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo, memasukkan agenda reforma agraria pada poin ke-5 Nawa Cita, yakni “....peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar, ....”. Hal tersebut diterjemahkan ke dalam program 4,5 juta redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan dan tanah terlantar, serta 4,5 juta legalisasi asset dan tanah transmigrasi yang belum bersertifikat.
Akan tetapi, Presiden Joko Widodo seperti mengulang kembali kesalahan para pendahulunya. Reforma agraria yang telah dijanjikan hanya hangat di awal, namun pelan-pelan menguap tanpa arah kebijakan dan implementasi yang jelas. Catatan KPA mengatakan selama masa pemerintahan ini 2015-2022, hanya 16 kasus konflik agraria dengan luas 3.647 hektar yang berhasil diselesaikan. Artinya, capaian ini masih jauh dari target semula. Persoalan utama bukanlah terletak pada kecilnya angka penyelesaian konflik yang telah dikerjakan. Namun kekacauan konsep dan tata laksana reforma agraria yang dilaksanakan saat ini.
Secara mendasar, reforma agraria bertujuan untuk mengurai ketimpangan penguasaan tanah, menyelesaikan konflik agraria, mengakui hak-hak masyarakat atas tanah sehingga bisa menjadi sumber kesejahteraan agar terciptanya keberlanjutan secara sosial dan ekologis. Agar tujuan tersebut dapat dicapai, mengutip Gunawan Wiradi, reforma agraria harus lah memiliki prasyarat diantaranya; kemauan politik pemerintah; tersedianya data yang lengkap dan akurat; organisasi rakyat yang kuat; serta terpisahnya elit politik dan elit bisnis.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki kemauan politik, hal ini ditandai dengan dimasukannya reforma agraria ke dalam agenda prioritas. Namun itu saja belum cukup, sebab pelaksanaan reforma agraria membutuhkan pemahaman dan kepemimpinan yang kuat secara nasional dan bersifat otoritatif . Dua hal yang belum juga terlihat pada pemerintahan saat ini.
Benar bahwa Presiden telah menandatangani Peraturan Presiden No.86/2018 tentang Reforma Agraria. Kelahirannya patut pula diapreasiasi karna merupakan kebijakan pertama yang memberikan panduan pelaksanaan reforma agraria sejak diundangkannya UUPA 1960.
Namun kebijakan ini patut pula dikritisi. Pertama, peraturan ini baru lahir di masa-masa akhir periode pemerintahannya yang pertama meskipun sudah didesak sejak lama oleh gerakan reforma agraria Kedua, substansi dalam Perpres tersebut dinilai banyak menyimpang dari reforma agraria yang genuine sehingga melahirkan kritik dari berbagai pihak. Salah satunya masuknya PNS, TNI dan Polri sebagai subjek prioritas.
Kemandegan penyelesaian konflik agraria sejauh ini juga disebabkan oleh ketiadaan data agraria yang lengkap dan akurat. Pelaksanaan reforma agraria tidak menyasar wilayah dimana kantong-kantong ketimpangan dan konflik agraria berada. Sebab tidak didasari pada pendataan langsung di lapangan dengan keterlibatan penuh masyarakat.
KPA sejak 2016 telah mengusulkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk menjawab kemandegan penyelesaian konflik tersebut. LPRA merupakan antitesa dari Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) pemerintah yang selama ini mandeg dan salah sasaran. LPRA merupakan sebuah pendekatan berbasis usulan rakyat yang telah memenuhi prasyarat pelaksanaan reforma agraria. Namun kembali, pemerintah seperti setengah hati menindaklanjuti usulan-usulan tersebut.
Alih-alih merespon, pemerintah justru lebih suka mempercepat legalisasi asset melalui pensertifikatan tanah. Program yang sebenarnya sudah menjadi tupoksi sehari-harinya Kementerian ATR/BPN.
Di wilayah klaim kawasan hutan, prorges penyelesaian konflik jauh lebih buruk. Catatan KPA, sejauh ini proses penyelesaian konflik melalui pelepasan klaim kawasan hutan masih 0%. Kementerian LHK masih enggan membuka pintu penyelesaian konflik agraria melalui pelepasan kawasan hutan. Mereka lebih suka mendorong dan memaksakan program Perhutanan Sosial (PS) kepada petani yang berkonflik dengan klaim kawasan hutan. Padahal PS bukanlah agenda reforma agraria, bahkan bertolak belakang secara konsep dan prinsip.
Pada akhirnya, dua dekade ketetapan MPR dan enam dekade UUPA 1960, reforma agraria masih belum menemukan jalan sejatinya. Sebab agenda tanah untuk rakyat masih sebatas janji manis yang selalu berujung pada kamendekan dan penyimpangan pada tahap implementasi.
Dalam Kepungan Liberalisasi Agraria
Di tengah berbagai penyimpangan dan kemandekan pelaksanaannya, reforma agraria semakin terancam. Negara melalui berbagai kebijaan semakin gencar meliberalisasi tanah dan sumber-sumber agraria. Terbaru, Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang telah banyak mendapat penolakan.
Liberalisasi agraria sebenarnya bukanlah hal baru dalam percaturan kebijakan agraria nasional. Upaya ini telah dimulai sejak pemerintah Orde Baru berkuasa. Pasa masa itu, Presiden Soeharto secara politik mempetieskan UUPA. Lalu melahirkan kebijakan dan pengaturan agraria yang lebih pro modal dan investasi. Ragam UU sektoral dan liberalisasi pengaturan agraria dan sumbedaya alam berhasil dilahirkan. Terbitnya UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Penanaman Modal Asing dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri menandai dimulainya dominasi rezim liberalisasi di bidang agraria, menggeser ideologi sosialisme ala Indonesia dalam pasal 33 UUD 45 dan UUPA 1960.
Penyimpangan konstitusi agraria di atas terus belangsung tanpa hambatan selama masa pemerintahan Orba. Selama periode tersebut, berbagai perampasan tanah dan konflik agraria terus bermunculan sehingga telah membawa Indonesia pada krisis agraria yang semakin dalam. Ironisnya, keterlanjuran politik-hukum agraria yang liberal semacam itu terus berlanjut di masa reformasi. Para elit yang berkuasa seakan lupa dengan semangat reformasi yang telah berhasil menggulingkan kekuasaan Orba.
Dengan dalih kepentingan umum dan penyerapan tenaga kerja, pemerintah memberi berbagai kemudahan bagi korporasi Negara dan swasta untuk menguasai tanah dan sumber-sumber agraria melalui ragam proyek-proyek pembangunan. Kemudahan-kemudahan tersebut semakin mengancam tanah-tanah rakyat dari penggusuran.
Demi mempermudah dan mempercepat proyek-proyek pembangunan skala besar tersebut, Kini banyak bermunculan badan dan lembaga baru. Sebut saja Bank Tanah, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, Lembaga Pengelola Investasi. Mereka bekerja dengan berbagai kebijakan yang memanjakan pengusaha seperti PSN, Food Estate, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dan Forest Amnesty/Pengampunan Deforestasi sebagai turunan dari UUCK.
Kemunculan lembaga seperti Bank Tanah dan Lembaga Pengelolah Investasi di atas telah menjadikan ratusan ribu hektar tanah rakyat terancam digusur oleh kepentingan proyek-proyek strategis nasional (PSN).
Pada tahun 2021, KPA mencatat konflik agraria akibat PSN mencapai 40 letusan konflik seluas 11.466,923 ha atau 49,8% dari total luasan kebutuhan tanah untuk PSN. Tingginya angka konflik di atas tidak bisa dilepaskan dengan berbagai kemudahan pengadaan tanah yang diakomodir berbagai kebijakan yang sebagian besarnya menyasar pemukiman dan tanah masyarakat. Kondisi ini berjalan di tengah carut-marutnya sistem pertanahan dan lemahnya pengakuan hak atas tanah rakyat.
Bahkan, proyek-proyek strategis tersebut juga mengancam lokasi-lokasi prioritas penyelesaian konflik (LPRA) yang telah diusulkan petani dan masyarakat sipil. Seperti di Toba Samosir, Siantar, Cilacap, Garut, Buleleng, dan Labuan Bajo.
Kembali ke Konstitusioanalisme Agraria
Krisis agraria yang tengah dihadapi bangsa ini sejatinya tidak hanya mengancam kehidupan kaum tani. Namun kegagalan pelaksanaan reforma agraria telah berdampak pada seluruh elemen kehidupan bangsa. Tanpa reforma agraria, pertumbuhan ekonomi Negara ini ibarat pesawat yang bersiap lepas landas di atas landasan yang retak dan timpang.
Agar tidak tergelincir, landasan tersebut perlu diperbaiki dengan menata kembali penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria agar lebih berkeadilan melalui reforma agraria. Reforma agraria dapat pula dipahami sebagai upaya untuk menyempurnakan kemerdekaan nasional untuk memakmurkan seluruh rakyat dengan bersandarkan pada prinsip keadilan secara sosial yang diterjemahkan melalui pemerataan penguasaan tanah dan kekayaam alam.
Sebab itu, perlu adanya konsensus diantara semua pihak, terutama penyelenggara Negara untuk secara serius menjalankan agenda bangsa ini, meluruskan berbagai penyimpangan yang telah terjadi sekian lama. Semua pihak harus berkomitmen untuk mengembalikan konstitusionalisme agraria dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai langkah pertama, MPR perlu memanggil DPR RI dan Presiden untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan reforma agraria dan usaha-usaha merestrukturisasi ketimpangan penguasaan tanah. Serta melakukan evaluasi dan pencabutan ragam kebijakan dan peraturan yang tumpeng-tindih atau yang bertentangan dengan reforma agraria, sesuai dengan mandat ketetapan MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Selanjutnya, perlu adanya konsolidasi pemahaman dari semua lembaga, baik eksekutif, yudikatif dan legislatif untuk pelaksanaan reforma agraria secara nasional dan sistematis. Salah satunya, Presiden perlu meluruskan pelaksanaan Reforma Agraria agar sejalan UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001. Hal yang juga mendesak adalah membentuk badan pelaksana reforma agraria yang bersifat otoritatif dan langsung dipimpin Presiden. Terakhir, menyusun kembali arah kebijakan agraria yang sejalan dengan cita-cita konstitusionalisme agraria dengan mendorong RUU Reforma Agraria sebagai upaya memperkuat dan merevisi Perpres 86/2018.
Hal di atas harus dilaksanakan secara ajeg dan konsekuen dengan pelibatan penuh partisipasi masyarakat di bawah agar apa yang dijalankan tidak terus menerus mengulangi kesalaman yang sama di masa lalu.
Oleh: Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA