GEMPUR

Generasi Muda Pejuang Reforma Agraria

Penulis :

Kolaborator :

terbit tanggal : 20 Nov 2022

Rangkuman

Konstitusi Negara Republik Indonesia dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan bahwa bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Frasa “dikuasai” bukan berarti “dimiliki”, tetapi secara implisit menyatakan bahwa pemilik atas sumber-sumber agrararia (: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya) dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia (Arizona, 2014). Atas dasar tersebut, bahwa sebenarnya pengelolaan sumber-sumber agraria yang dilakukan oleh negara merupakan mandat dari seluruh rakyat Indonesia dan tentu harus bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bung Karno dalam pidatonya pada 17 Agustus 1960 menegaskan “Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia”. Cita-cita yang kuat dan luhur tersebut kemudian dituangkan melalui Undang-Undang No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). UUPA sebagai payung hukum agraria nasional adalah deklarasi bangsa Indonesia atas kekayaan agraria yang dimilikinya agar menjadi fondasi bagi arah kebijakan pembangunan di lapangan agraria.

Enam dekade berjalan, apa yang menjadi cita-cita bersama kemerdakaan, yakni terciptanya kemakmuran bagi seluruh rakyat melalui pengelolaan kekayaan agraria yang berkeadilan tidak kunjung tercipta. Cita-cita dan amanat yang telah dituangkan dalam konstitusi dan UUPA 1960 tersebut semakin jauh dari harapan rakyat Indonesia, khususnya kaum tani. Alih-alih mendatangan kesejahteraan, pengelolaan sumber-sumber agraria nasional dilakukan secara ugal-ugalan, mementingan kepentingan segelintir kelompok dengan meminggirkan dan mencerabut sebagian besar rakyat dari sumber-sumber kehidupan mereka.

Kebijakan pengelolaan sumber-sumber agraria yang serampangan tersebut telah membawa Bangsa ini dalam krisis agraria yang semakin dalam. Penggusuran, perampasan tanah, konflik agraria, ketimpangan agraria dan kriminalisasi petani menjadi potret sehari-hari situasi agraria kita saat ini.

Saat ini, 1% pengusaha menguasai 68% tanah. Sebaliknya, sedikitnya 15,8 juta rumah tangga petani hanya menguasai tanah seluas kurang dari 0,5 hektar (BPS, 2018).  Situasi ketimpangan ini telah melahirkan berbagai letupan konflik di seluruh Indonesia. Satu dekade terakhir (2011-2021), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 3.698 letusan konflik agraria di berbagai sektor. Letupan konflik ini disertai kriminalisasi pada mereka yang memperjuangkan hak-haknya. Berbagai regulasi yang dirancang untuk memfasilitasi model-model bisnis baru seperti pembangunan infrastruktur, kawasan ekonomi khusus atau kawasan wisata baru, kawasan food estate, kawasan industri perikanan, dan kawasan pertambangan turut memperparah krisis agraria yang tengah berlangsung.

Krisis-krisis dalam situasi agraria nasional saat ini tidak hanya merugikan petani, tetapi juga masyarakat adat, nelayan, kaum buruh di kota. Generasi muda sebagai penerus tonggak estafet bangsa ini adalah kelompok yang paling terancam. Sebab, krisis agraria yang terjadi telah berdampak pada semua lini dan sektor kehidupan rakyat. 

Kaum muda, baik di desa dan kota perlu mengambil tindakan untuk merespon situasi krisis agraria yang telah mengancam masa depan para penerus bangsa. Tidak ada jalan lain, selain menyatukan kekuatan dan konsolidasi antara generasi muda di desa dan kota untuk berjuang bersama untuk membuat perubahan. Mendesak pelaksanaan reforma agraria sejati di Indonesia.

Share