Perempuan Pejuang Reforma Agraria
Penulis : -
Kolaborator : -
terbit tanggal : 20 Nov 2022
Perjuangan perempuan reforma agraria merupakan perlawanan perempuan terhadap ketimpangan stuktur kepemilikan tanah dan hilangnya sumber-sumber agraria yang berdampak langsung pada perempuan. Kaum perempuan memikul beban ganda, sebab perampasan tanah dan sumber-sumber agraria telah mengakibatkan hilangnya sumber produksi. Situasi ini mengakibatkan kaum perempuan harus bekerja ekstra keras, sebab dituntut mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan bekerja serabutan menjadi buruh tani, buruh cuci, buruh harian lepas, dan sektor informal lainnya. Situasi ini dijalani ditengah kerja-kerja untuk mengurusi kebutuhan-kebutuhan domestik.
Diberbagai kasus, konflik agraria dan perampasan tanah, perempuan tidak hanya kehilangan sumber mata pencaharian, namun juga menjadi korban kekerasan dan penganiayaan. Catatan KPA dari tahun 2017-2020 menunjukkan sebanyak 25 perempuan mengalami kriminalisasi dan 78 orang mengalami kekerasan saat mempertahankan tanah mereka dari penggusuran dan perampasan oleh perusahaan swasta dan Negara. Pada tahun 2021, sejumlah 25 perempuan dikriminalisasi dan 7 dianiaya.
Dilain itu konflik dan ketimpangan struktur agraria juga berdampak pada relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Hal itu tidak hanya menyebabkan keterbatasan akses dan kontrol perempuan atas pengambilan keputusan yang memengaruhi hidupnya, tetapi juga kerentanan dan diskriminasi. Situasi ini akan semakin memburuk, karena pemerintah terus memfasilitasi kepentingan investasi dan pembangunan yang menjadi penyebab utama praktik perampasan tanah dan lahirnya konflik agraria. Sebab dilakukan dengan kebijakan dan cara serampangan. Perempuan dan anak adalah korban utama dari peristiwa tersebut yang menyebabkan penindasan berlapis.
Dampak-dampak yang terjadi diatas telah menjadikan perempuan di berbagai wilayah berada digaris depan dalam melawan berbagai praktik perampasan tanah. Namun diberbagai wilayah itupun kita melihat suara dan peran perempuan masih di anak tirikan akibat cara pandang maskulinitas yang menempatkan perempuan dibelakang bayang-bayang laki-laki. Mereka jarang sekali dilibatkan dalam mengambil keputusan, atau minimal didengarkan suaranya.
Di banyak tempat, perempuan tidak hanya mengalami diskriminasi dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, mereka juga rentan mengalami pelecehan dan kekerasan, baik secara fisik maupun verbal. Hal itu sering kali mereka alami dalam melakukan aksi-aksi penolakan atas hadirnya perusahaan yang merampas tanah dan menggusur kampung-kampung mereka. Namun situasi tersebut tidaklah mengendurkan semangat juang kaum perempuan, sebab perjuangan hak atas tanah adalah perjuangan hakiki, yang berkaitan dengan keberlanjutan hidup, harkat dan martabat. Perempuan yang tengah berjuang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya membuktikan bahwa mereka adalah aktor penting dalam menjaga keseimbangan dan keberlangsungan sumber-sumber agraria.
Situasi diatas tersebut adalah ironi yang harus dihadapi oleh kaum perempuan di Indonesia. Mereka masih saja mengalami diskriminasi, ketidakadilan dan bahkan secara sengaja ditutup akses dan haknya terhadap tanah dan sumber-sumber agraria. Padahal konstitusi telah menjamin hak perempuan melalui Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) menyatakan bahwa tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah, serta mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Maka, sudah semestinya kaum perempuan dijamin haknya ataupun terlibat dalam perjuangan hak atas tanah.
Konsorsium Pembaruan Agraria sebagai organisasi yang didirikan untuk memperjuangkan hak atas tanah dan reforma agraria menyadari betul hal tersebut. Bahwa perjuangan reforma agraria haruslah menempatkan perempuan dan laki-laki secara setara, baik dalam peran maupun hak yang telah melekat pada diri mereka masing-masing. Atas kesadaran tersebut, selama puluhan tahun KPA selalu mendorong keterlibatan penuh kaum perempuan, baik yang berada diwilayah pedesaan, plosok pesisir sampai wilayah perkotaan.
KPA berupaya mendorong melakukan penguatan ideologi dan kapasitas aktivis terkhusus perempuan. Sehingga, melalui Gerakan Perempuan yang terorganisir dan terdidik inilah fondasi gerakan RA akan semakin kuat. Dengan demikian KPA terus mendorong perempuan melalui berbagai uapaya, baik itu diskusi, pendidikan, konsolidasi dan aksi. Salah satunya melalui Rapat Akbar Gerakan Perempuan di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi pada pertengahan 2020 lalu. Rapat Akbar ini membahas pentingnya peran dan kontribusi perempuan dalam perjuangan Reforma Agraria dan menolak RUU Cipta Kerja.
Upaya-upaya tersebut terus diperkuat dalam Musyawarah Nasional VIII KPA pada tahun 2021. Dimana salah satu mandatnya adalah kebijakan dan aksi afirmatif bagi penguatan dan pelembagaan perempuan pejuang reforma agraria serta generasi muda kader reforma agraria.
Sebagai tindak lanjut dari mandat tersebut, KPA bersama kader-kader perempuan akan menyelenggarakan konsolidasi gerakan untuk penguatan dan pelembagaan Perempuan Pejuang Reforma Agraria. Agenda ini sebagai bagian dari arah transformasi KPA, salah satunya menyediakan ruang dan kesempatan bagi kader perempuan dalam meningkatkan kapasitas dan meberikan kontribusi nyata dalam perjuangan reforma agraria.
Forum ini adalah wadah bagi kader perempuan, baik kader perempuan petani, perempuan nelayan dan perempuan masyarakat adat untuk membahas dan merumuskan agenda dan strategi perjuangan reforma agraria di Indonesia baik untuk jangka pendek, jangka menengah bahkan jangka panjang untuk membumikan kerja-kerja organisasi.